27 - Inevitable

19 3 0
                                    


Hidup adalah pilihan, kata beberapa orang yang seumur hidupnya bahkan tidak pernah memijak tanah. Pakai jatah gagal sebanyak-banyaknya selagi masih muda, kata yang lain —yang  tidak pernah tersentuh realita jalanan. 

"EMANG B*NGS*T LO YAA! BALIKIN KAGAK DUIT GUE SEKARANG?"

"WOI, ANJ*NG! DATANG LO KE SINI!"

"LO MAU MANGGIL SIAPA?? KAGAK TAKUT GUE. SEKALIAN TUH SATU KAMPUNG LO AJAK SEMUA KE SINI."

"DASAR ANAK SETAN LO!"

Alpha terkesiap kaget. Baru saja dia melangkahkan kaki keluar dari bengkel Pak Ali, umpatan demi umpatan melayang di udara. Bukan hal yang aneh sebenarnya, tapi tetap saja membuat dia terkejut. 

Bengkel konveksi milik Pak Ali adalah tempat baru bagi Alpha menghabiskan waktu. Lebih tepatnya menghabiskan waktu dan menghasilkan uang, yang biasa disebut oleh manusia modern sebagai kerja. Tadinya, tempat itu adalah tempat Ibu bekerja sebagai penjahit. Tapi setelah ayahnya sakit dan harus dirawat di rumah, Alpha datang untuk menggantikan.

Tidak banyak yang bisa dikerjakan pada saat Alpha pertama masuk ke tempat itu. Bahkan untuk sekadar menggunting pola atau mengukur kain, dia sering kewalahan. Apalagi saat disuruh berurusan dengan mesin jahit, rasanya dia ingin menyerah saja dan kembali ke kampus mengerjakan laporan-laporan praktikum yang tidak ada habisnya. 

Tapi, menyerah bukanlah pilihan. Atau lebih tepatnya, dia tidak mempunyai pilihan lain selain tetap di tempat itu, dan mendapatkan penghasilan tambahan yang bahkan sangat jauh di bawah UMR. Pilihan tidak pernah tersaji bagi orang-orang seperti Alpha. Take it or you've get nothing.

"Mau balik lo, Al?" tanya Pak Ali ramah. Entah kemana perginya laki-laki galak yang baru saja mengeluarkan sumpah serapah pada orang di seberang telepon.

"Iya, Pak," jawab Alpha enggan. Dia selalu sungkan saat harus pulang di saat-saat seperti itu, pasalnya tadi pagi pun dia datang terlambat karena harus mengurusi asuransi Bapak.

"Oke, oke. Hati-hati, ya. Kalo bisa besok dateng lebih pagi. Ada yang mau pelunasan soalnya."

Alpha mengangguk kecil, sebelum akhirnya dia berpamitan untuk melanjutkan hari itu.

Luciferin, adalah tempat yang dituju Alpha selanjutnya. Dengan sepeda biru tua kepunyaan Ibu, dia menembus jalan kampung yang kecil dan padat dengan penduduk. Melewati jalanan yang sama hampir setiap hari, membuat Alpha mulai hapal kebiasaan orang-orang di jalan yang dilewati.

Seperti bapak-bapak setengah baya yang sering nongkrong berjejer duduk, layaknya orang yang sedang duduk di angkot, setiap kali Alpha melewati pos ronda di tikungan setelah bengkel Pak Ali. Awalnya ada keengganan untuk berinteraksi dengan para laki-laki tua itu, tapi setelah satu bulan berjalan, dia terbiasa melemparkan senyum atau memberikan sapaan pada mereka. 

Atau, anak-anak kecil yang hampir setiap hari berlarian di tengah jalan, menarik lengan satu sama lain, sambil tertawa melihat temannya jatuh. Alpha lupa kapan terakhir kali dia merasakan kegembiraan seperti itu. Tapi hanya dengan tawa yang menggema di udara, terkadang hatinya menghangat, sejenak melupakan masalah yang harus dihadapi.

Ada satu orang yang tidak pernah luput perhatian Alpha saat dalam perjalanan menuju restoran. Laki-laki muda yang mungkin seumuran atau lebih tua dari dia, yang duduk di depan rumah dengan gitar hitam yang mulai sumbang. Bernyanyi sendirian dengan volume maksimal, mengagetkan orang-orang yang lewat dari depan rumah.

"AKU BISA MEMBUATMUUUU," adalah potongan lagu pertama yang didengarkan oleh Alpha. Sama seperti orang-orang yang pertama kali mendengar suara yang menggelegar itu, Alpha tersentak hampir terjatuh dari sepeda.

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang