06 - chaos

15 3 3
                                    

Jumat malam, Alpha disibukkan dengan tumpukan jurnal di hadapannya. Sudah ratusan kali dia membaca isi jurnal penelitian yang baru saja diprintnya tadi siang, tapi percuma. Otaknya sudah buntu. Setelah kuliah dari pagi sampai sore, rasanya dia ingin mengibarkan bendera putih saja.  

Tapi, seperti biasa Abe berhasil menyeret dia dan Angga ke Dialka —kafe di sebelah kampus— malam itu. Tidak seperti Alpha yang masih berusaha memaksa dirinya untuk tetap konsentrasi, dari awal masuk ke kafe itu Angga sudah menunjukkan niat yang ogah-ogahan untuk menyelesaikan tugas mereka. Hampir satu jam mereka di tempat itu, Angga hanya duduk selonjoran sambil bermain ponsel.

"Tugasnya masih 2 minggu lagi kan, Be?" akhirnya Angga bersuara setelah sedari tadi dia hanya menggerutu tidak jelas. 

Alpha mendelik dari balik layar laptopnya, Abe tidak menggubris omongan Angga. Dari semua pertentangan antara dirinya dan Angga, malam itu —walaupun hanya untuk sekali saja— dia berada di pihak Angga.

"Minggu depan kita ada kuis," jawab Abe, pandangan masih terfokus pada layar di hadapannya.

"Belum lagi kalo ada tugas dadakan kayak bulan lalu," lanjutnya.

Angga hanya bisa menggerutu pelan, protesnya hanya akan sia-sia saja kalau Abe dalam mode siap berperang.

"Kalau malam ini beres, lo punya waktu istirahat 2 hari ke depan. Bebas mau ke mana aja."

"Bilang aja lo bela-belain harus beres malam ini karna besok mau survey tempat," tembak Angga.

Sial, gerutu Alpha dalam hati. Satu hal yang paling tidak mengenakkan saat belajar dengan Abe adalah dikejar-kejar waktu, karena laki-laki itu punya 1001 kesibukan selain kuliah. Abe diam tertegun.

Bertemu dan bisa menjadi partner belajar Abe memang benar adalah sebuah keajaiban. Kata orang-orang dia beruntung, benar. Alpha sangat beruntung, tapi ada harga mahal yang harus dibayarnya untuk 'keberuntungann' itu.  Waktu istirahat, misalnya.

"Al, udah beres belum?" tanya Abe tiba-tiba saat pikirannya mengawang-ngawang.

"Be...lum."

Abe melirik jam tangannya sebentar. 

"Mau udahan aja hari ini? Udah pada capek ya?"

"Dari tadi gue bilang juga apa, nggak bakal efektif ngerjain tugasnya malam ini," Angga masih berusaha protes.

"Kriing~" suara lonceng di atas pintu Dialka entah sudah berapa puluh kali berbunyi sejak mereka bertiga masuk ke kafe itu.

Malam itu suasana Dialka tidak terlalu ramai dibandingkan malam-malam sebelumnya. Kafe yang menyatu dengan toko buku dan perpustakaan itu cenderung sepi, mungkin karena sedari sore hujan atau mungkin juga karena sudah akhir bulan. Dialka biasanya akan tutup pukul 4 pagi dan buka lagi pukul 6 pagi. 

Abe, Alpha dan Angga malam itu beruntung bisa mendapat tempat duduk di pojok kafe itu, posisi yang paling nyaman di Dialka. Sofa yang nyaman, meja yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, pas untuk mengerjakan tugas. Pojok kafe yang menghadap langsung ke pintu masuk utama. 

Entah sudah berapa kali konsentrasi Alpha pecah mendengar lonceng di atas pintu besar di hadapannya itu. Kali ini seorang laki-laki masuk dengan dompet dan ponsel di tangan kirinya, sedangkan tangan yang sebelah sedang sibuk mengusap ujung kepalanya dari percikan-percikan gerimis. 

Mungkin dia mahasiswa di kampus yang sama dengan Alpha, atau mungkin dia sudah bekerja. Penampilannya sedikit terlalu rapi untuk ukuran mahasiswa, rambut cepak yang sedikit basah karena hujan, kaos hitam polos, straight jeans hitam dan sendal jepit yang juga berwarna hitam.

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang