09 - Dialka

11 2 0
                                    

Hujan. Setelah berhari-hari tidak ada tanda-tanda awan gelap menyelimuti langit kota. Malam itu rintik-rintik air dari langit datang keroyokan seperti preman kampung yang sering membuat kericuhan. 

Devtri baru saja selesai mandi setelah lembur berjam-jam di kantor. Untung besok libur, jadi setidaknya dia bisa istirahat lebih lama malam itu. Mungkin dia hanya akan menonton satu episode drama korea yang sedang diikutinya, lalu tidur sampai pagi. 

Hawa panas yang tiba-tiba menyelimuti kamarnya —akibat hujan, setelah panas berhari-hari—, membuat Devtri membuka pintu kamar. Angin malam berhembus seketika, saat Dev membuka pintu. Kamar kecil berukuran 4x5 meter itu, langsung  terasa sejuk.

Pengen minuman hangat, batinnya. Mungkin karena udara dingin yang tiba-tiba menyeruak.

Setelah dengan beberapa pertimbangan akhirnya dia memutuskan keluar untuk memuaskan hasratnya. Sebenarnya dia belum terlalu mengenal daerah tempat tinggalnya yang baru itu. Devtri baru pindah ke tempat itu sekitar 2 bulan. Selain belanja dan kerja, dia hampir tidak pernah keluar dari kamar.

Kosan itu terletak tidak jauh dari jalan utama. Dan penghuninya pun sebagian besar adalah mahasiswa sebuah kampus besar yang berjarak hanya 1 km dari situ. Alasan utama kenapa Devtri pindah adalah masalah biaya. Dia hanya perlu membayar setengah dari biaya sewa tempat sebelumnya. Maklum, wilayah sekitaran kampus akan lebih ekonomis dibanding daerah kantoran.

Dengan bermodal sebuah payung dan jaket tebal, Dev melangkahkan kakinya keluar kosan. Jarang-jarang dia mau keluar setelah pulang kerja. Rasa lelah selalu menang.

Ternyata malam itu hujan turun lumayan deras, cukup ampuh membuat genangan di beberapa titik tanah dan jalan yang lebih rendah. Tampaknya banyak orang tidak mengantisipasi hujan malam itu,  ada wajah-wajah kelelahan yang terlihat berteduh di sebuah mini market langganan Devtri.

Di titik itu, akhirnya dia berhenti. Tidak tahu akan berjalan ke mana lagi, ternyata Dev belum memiliki tujuan. Berbelok ke kiri —jalan menurun yang didominasi banyak warung makan— atau belok ke kanan keluar dari gang kosannya menuju jalan utama.

Dialka. Tempat itu tiba-tiba bersekelebat di pikirannya.

Sudah berapa tahun dia tidak ke tempat itu? Sejak lulus SMA dan kuliah di luar kota, Dev tidak pernah lagi ke sana. Bahkan setelah kembali ke kota itu beberapa tahun yang lalu, dia tidak pernah berniat untuk mengunjungi Dialka. Tempat favoritnya saat sekolah, tempat yang tepat untuk melakukan banyak hal dengan budget yang pas-pasan. 

Akhirnya Dev memilih melangkahkan kakinya ke kanan, berniat untuk mengunjungi Dialka setelah bertahun-tahun tidak memijakkan kaki di sana. Sebenarnya hampir setiap hari dia melewati Dialka saat berangkat ke kantor atau pulang dari kerja. 

Awalnya dia tidak mengenali gedung itu lagi. Gedung yang dulunya lebih mirip seperti museum itu dirombak secara besar-besaran. Tidak ada lagi pintu kayu besar yang menjadi akses utama gedung. Tidak ada lagi pilar-pilar besar yang menyangga gedung itu. Berganti menjadi bangunan modern berlantai 4, dengan banyak kaca besar. Setiap lantai sudah memiliki akses pintu masing-masing, bangunan itu tidak lagi terintegrasi pada satu pintu.

Pukul 9 malam. Sebenarnya Devtri tidak terlalu yakin apakah tempat itu masih buka atau tidak. Tapi dia tetap saja melangkahkan kakinya. Seingatnya, Dialka sudah tutup pada pukul 8 malam. Itu dulu, semoga sekarang sudah berubah.

Dialka, Devtri berhenti di depan tempat itu setelah 5 menit berjalan. Walaupun tidak banyak, masih ada orang yang berlalu-lalang keluar masuk gedung berlantai 4 itu. Baru saja dia akan melangkahkan kaki lebih jauh, masuk ke halaman depan Dialka, ada perasaan yang menahannya untuk tidak masuk.

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang