22 - We Don't Have Forever

19 3 3
                                    

CONTENT WARNING SUICIDE!!!❌⚠

Lebih baik dilewatkan kalau kamu punya anxiety dengan peringatan di atas

We are all  a part of our story
But we can not allow the story to be written for us
Because we don't have forever
Sometimes,
All we have is a single day


~We dont have forever~

*****

It's December again.

Hujan, lagi-lagi hujan. Abe sudah terlalu lelah untuk menembus ribuan bahkan jutaan butir air yang seolah-olah tidak ada habisnya turun dari langit gelap di atas kepalanya. Pagi ini dia keluar dari kontrakan lengkap dengan jas hujan dan sendal jepit. Tadi siang saat dia akan menemui seseorang di fakultas lain, lagi-lagi hujan menyerbu membasahi ujung kepalanya.

Sore itu, setidaknya hanya sore itu dia berharap hujan bisa berhenti untuk sesaat. Ada seseorang yang sedang menunggunya. Dia ingin bertemu dengan orang itu dengan penampilan terbaiknya, bukan kuyup dan kelelahan. 

Pandangannya beralih dari jam tangan dan langit di hadapan. Waktunya sebentar lagi, tapi awan gelap masih menutupi seluruh kota.

"Mau kemana lo?" adalah kalimat yang tidak diduga terdengar dari balik punggungnya. Abe menoleh ke belakang, mendapati Rian yang sedang memandanginya dari atas sampai ke bawah.

"Eh, Rian. Kok masih di kampus?" suara Abe ceria —berusaha untuk menjaga mood-nya tetap baik.

"Ketiduran di sekre. Lo mau kemana sore-sore gini? Mana wangi banget lagi?" tanya Rian dengan nada curiga.

"Mau ketemu Mia."

Titik.

Oh!

Rian mengangguk-angguk kecil, "Lo mau ketemuan hujan-hujan gini?" tanyanya lagi saat melihat langit sudah sangat gelap.

Wajah Abe berubah murung.

Kenapa nih orang, Rian siap-siap mendengar keluhan dari laki-laki itu.

"Kalo nggak hari ini, gue nggak tau kapan lagi bisa ketemu sama Mia."

Kasihan.

"Minggu depan udah UAS ya?" Rian seolah-olah sedang menambah air cuka ke luka Abe yang sudah perih.

Laki-laki di hadapannya hanya mengangguk lemah.

"Btw, makasih ya udah jemput Mia ke bandara."

Sekarang giliran wajah Rian yang berubah masam, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu bersama Angga.

"Hmm, it's okay," jawab Rian sekenanya.

Sekali lagi, Angga melihat ke jam tangan di lengan kirinya.

"Gue cabut dulu ya," katanya buru-buru membelah gerimis yang sudah turun perlahan.

Tanpa menunggu jawaban Rian, laki-laki itu pergi, menghilang di antara kerumunan orang.

"Kadang tuh, ya. Orang yang udah lama kita tunggu sebenarnya ada di sebelah kita. Tapi sayangnya dia juga lagi nunggu orang lain, jadi kita nggak berani ngomong ke dia kalau kita udah nunggu lama."

Awan gelap, koridor kampus dan sendirian. Siapa yang tidak terkejut saat tiba-tiba mendengar kalimat itu tepat di belakang telinga.

"Plak!" sebuah gerakan refleks sebagai pertahanan diri —ditambah sedikit dendam—, mendarat kencang di pundak Angga.

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang