14 - Terrified

9 2 0
                                    

Ada keraguan di langkah Dev malam itu. Dia sudah terlambat beberapa jam dari waktu yang ditentukan. Seseorang sedang menunggunya.

Namun, bukannya segera bergegas, Dev malah berhenti di depan kafe —tempat yang disepakati dengan orang itu untuk bertemu. Semakin jauh kakinya melangkah masuk menuju kafe, keraguan dalam langkahnya pun semakin besar.

Seorang pramusaji menyambutnya di pintu masuk. Sejujurny,  Dev tidak yakin apa orang itu masih menunggu atau tidak di sana, sudah lewat 2 jam dari jadwal yang mereka janjikan.

"Saya ada janji sama orang," kata Dev sambil matanya mengitari seisi kafe.

"Atas nama siapa, Mbak?"

"El..fi. Atas nama Ibu Elfi," entah kenapa kerongkongannya terasa kering saat menyebut nama orang itu.

"Oh, sebelah sini," sang pramusaji menuntun Dev masuk lebih jauh ke dalam kafe. Ternyata orang itu masih menunggunya.

"Di sini, Mbak," pramusaji itu berhenti pada sebuah meja di sudut kafe.

Dev tercekat, dia ternyata belum benar-benar siap untuk bertemu dengan orang itu. Bahkan hanya melihat punggung wanita itu saja sudah membuatnya keringat dingin. Dia masih berdiri di tempat, saat pramusaji itu berpamitan.

"Silakan duduk," suara yang menyadarkan Dev, kalau wanita itu tidak datang sendirian. Ada seorang pria muda duduk di sebelahnya.

Dengan kepala tertunduk, Dev mengambil tempat di hadapan kedua orang itu. Selama bermenit-menit tidak ada yang memulai pembicaraan, baik dia maupun wanita di hadapannya. Sedang laki-laki tadi sibuk dengan kertas-kertas di atas meja.

"Ini Enggar, suami Adel. Pengacara," kalimat yang dilontarkan Elfi.

Dia yang sedari tadi menunduk, akhirnya menengadah melihat wanita paruh baya itu. Elfi masih sama seperti terakhir kali Dev melihatnya, hanya ada kerut-kerut halus yang mulai menghiasi wajahnya. Pandangan Dev kemudian beralih ke arah pria yang disebut Engggar itu.

"Enggar," kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan.

"De...Dev..tri," suaranya tercekat.

"Langsung aja, ya," kata Enggar mecoba memecah keheningan yang akan tercipta lagi.

Dev hanya mengangguk, dia tahu ke mana arah pembicaraan itu.

"Beberapa minggu yang lalu kita coba menghubungi Tante Etha—," kalimat Enggar menggantung, membuat Dev semakin gugup di tempatnya.

"Menghubungi Tante Etha bermaksud untuk menanyakan sertifikat hak milik rumah eyang."

Lidah Dev semakin pahit, dia mencoba mengalihkan pandangan pada benda-benda yang berada di atas meja. Tapi sepertinya, bukan hanya dia saja yang gugup. Dev bisa melihat wanita di hadapannya memutar-mutar gugup cincin di jari manisnya.

"Setelah bicara dengan beliau, kita baru tahu kalau ternyata sertifikat rumah itu digadaikan ke bank. Dan lebih kagetnya, orang yang menggadaikannya adalah kamu."

Dev membeku, dia bisa merasakan wajahnya yang memanas. 

"Kita nggak  tahu atas dasar apa kamu sampai harus menggadaikan rumah yang bukan hak milik kamu, tapi jelas masalah ini bisa kita bawa ke jalur hukum."

Bahu Dev yang sedari tadi menegang, seketika mengendur mendengar kalimat terakhir Enggar. Pasrah.

"Kamu jelas bukan ahli waris almarhum Papa, beliau punya istri sah yang masih hidup. Saya nggak ngerti gimana caranya kamu bisa menggadaikan rumah itu."

"Saya mau jual rumah itu—" kata Elfi memotong penjelasan laki-laki di sampingnya.

Dev menatap wanita itu tidak percaya.

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang