🛳️ | Bagian 14

455 55 4
                                    

Catatan: Sebelum kalian lanjut baca. Aku mau bertanya. Apa alur cerita ini lambat? Tolong dijawab. 🥺

🛳️ Bagian 14 🛳️

Sesuai dengan janji yang Dayana ucapkan tadi siang. Saat ini mereka ada di depan kapal, namun karena banyak kaum pria yang masih nongkrong sambil merokok, menikmati keindahan sunset membuat Dayana sedikit tidak nyaman jika harus memijat Hamza di sana.

Mencolek lengan Hamza beberapa kali, Dayana pun berdehem pelan sebelum berseru. “Ini nggak terlalu ramai, Mas?”

“Jadi gimana?” tanya Hamza balik. Pria itu baru saja mandi, bekas keramasan di rambutnya terlihat masih basah hingga meninggalkan jejak air di atas pundak kaos berwarna putih yang menambah kegagahan yang ada dibalik pakaiannya.

Otot perut, lengan, betis. Dayana tidak bisa memungkiri jika ia kadang penasaran dengan .... Menggeleng pelan kepalanya. Dayana mengenyahkan pikiran aneh dan liar itu dari otaknya!

“Di atas aja, di kamar tapi pintunya jangan ditutup,” jawab Dayana. Jujur saja ia gusar dengan perkataannya barusan, hanya mungkin ini pilihan yang paling baik dibandingkan harus menahan berlipat-lipat malu di depan banyak orang juga hal-hal yang tidak ia inginkan terjadi, misalnya salah tingkah.

“Hmm ... Kalau kamu merasa nggak nyaman, nggak usah. Kaki saya masih baik-baik saja, ini bisa jalan kan?” kata Hamza seraya menepuk pahanya sebagai tanda ia baik-baik saja.

Dayana bingung, ia memang malu. Dan rasa malunya ini yang membuat Dayana tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Tapi kasihan Hamza, dan juga janji Dayana, masa ia harus mengingkari janjinya karena malu? Yoh, ia yakin Hamza tidak mungkin macam-macam sama dirinya.

“Nggak papa, Mas. Ayok naik.” Dayana menarik tangan Hamza secara spontan. Ia juga tidak tahu kenapa ia melakukan hal itu? Menarik tangannya kembali ke posisi awal, Dayana menampilkan senyum kaku dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Hamza yang tersenyum kecil.

Setibanya di atas Dayana menyenderkan tubuh pada pembatas kapal seraya menunggu Hamza membuka pintu kamarnya. Demi Tuhan, tenang jantung! Dayana hanya duduk, memijat kaki Hamza sebentar dan keluar, lalu semua pekerjaan selesai! Tidak ada yang akan di dalam sana! Refleks, tarik, tahan, buang napas! Tenang.

“Masuk, Dayana," ajak Hamza, membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Dayana masuk.

Dayana mengangguk canggung, dengan langkah kecil. Tanpa sadar ia mengigit bibir dan menahan napas.

“Saya nggak bakal makan kamu, Dayana.” Seakan mengetahui ketegangan yang Dayana rasakan, Hamza tiba-tiba menyeletuk demikian.

Mengangkat kepalanya, Dayana yang saat itu menggerai rambut mendelik kesal pada Hamza—lebih tepatnya ia jengkel pada dirinya yang terlalu mudah dibaca oleh Hamza—yang berdiri di samping pintu dan menatap Dayana dengan serius.

“Mas ada bawah minyak urut?” Mata Dayana mengedar ke segala ruangan, kamar Hamza yang tidak berbeda jauh darinya, satu tempat tidur berukuran satu badan, ada jendela yang langsung menampilkan pemandangan laut, dan juga didominasi oleh warna cokelat yang semakin terlihat elegan. Bedanya, kamar Hamza memiliki aroma parfum dan tubuh pria itu, Azkiya bisa menghidu dengan jelas, dan aneh sekali karena ia menyukai, aroma yang sama, parfum yang sama seperti dulu ketika mereka masih remaja.

Seutas senyum hadir di kedua sisi bibir Dayana. Jika mengingat kembali kenangan lama bersama Hamza, Dayana merasa sangat malu. Dulu, ia lebih sering mengejar pria itu, menggombal sana sini, sampai menyatakan perasaannya berulang kali pada Hamza. Setelah itu, perjuangan Dayana membuahkan hasil, ia berhasil meluluhkan hati Hamza. Di saat mereka pdkt atau pendekatan pun, awalnya Dayana yang harus menggerakkan seluruh tenaga untuk mengajak Hamza keluar alias kencan sebelum pacaran—dan memang setelah itu tidak ada namanya kata pacaran karena Dayana yang pergi.

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang