🛳️ | Bagian 10

500 57 3
                                    

🛳️ Bagian 10 🛳️

“Maksudnya apa ngomong kayak gitu, Mas?” tanya Dayana setelah semua proses pembagian kamar telah selesai.

Memang kamar mereka tidak sama-sama, tapi bersebelahan, dan hanya mereka berdua yang menghuni bagian kamar atas kapal.

“Ngomong apa?” tanya Hamza menautkan kedua alisnya yang tebal, bingung.

“Kita suami istri! Mas, sejak kapan kita menikah?” seru Dayana kesal bukan main, wajahnya memerah padam, perpaduan malu dan jengkel. Walau tidak bisa ia pungkas bahwa ada rasa bahagia, senang ketika mendengar kata suami isteri yang tersemat diantara mereka.

Hamza berjalan mendekati Dayana, sponan wanita itu melangkah mundur. Degup jantung yang sejak awal bertalu-talu semakin tak terkendali. “Ke ... Kenapa, mas?”

Tidak menggubris perkataan Dayana. Pria itu terus berjalan maju hingga tubuh Dayana sudah berada di tepi kapal. Berusaha untuk tetap berpikir waras dan tidak membayangkan kejadian tadi pagi, Dayana memberanikan diri untuk membalas pandangan pria itu.

“Mas! Orang pada lihat ini!” seru Dayana, menggeser posisi tubuhnya ke samping, agar pria yang berada sangat dekat dengannya, bahkan Dayana bisa menghidu aroma parfum pria itu.

“Kita kan pasangan suami istri, Dayana,” gumam Hamza sangat pelan, padanganmya tidak bisa Dayana tebak, sangat misterius, jika bisa ia mendeskripsikan gambaran pria itu sekarang, Hamza seperti ingin memakannya hidup-hidup detik ini juga.

“Mas, kamu jangan gila. Sejak kapan?” hardik Dayana.

Hamza menarik tangan Dayana pelan, hanya dalam kurung beberapa detik wanita itu masuk ke dalam dekapan tubuh kekar Hamza yang mirip seperti Goliat jika dibandingkan dengan Dayana yang sebelas dua belas seperti kurcaci.

“Kamu kenapa nggak bilang iya, saja? Kamu nggak mau memulai hubungan kita lagi?” tanya Hamza, menurunkan pandangan pada Dayana yang tercenung.

Dayana tidak bisa menjawab secepat ini pernyataan atau ajakan pria yang memeluknya. Maka Dayana menjawab pelan sesuai dengan isi hatinya.

“Mas seharusnya bisa bersabar kalau bersungguh-sungguh ingin kembali. Seperti yang tadi aku bilang, aku ke sini untuk melupakan penghianatan yang dibuat oleh mantanku, masih ada luka mas, meskipun iya, aku masih ada rasa sama kamu, tapi biarin aku menikmati sejenak rasa sendiri ini sebelum memulai yang baru. Aku juga butuh bernapas dari semua kesesakan sialan ini.”

Sehabis berkata panjang lebar, Hamza tidak membalas perkataan Dayana. Pria itu pun perlahan melonggarkan pelukannya pada Dayana, lalu tertunduk.

Dayana tidak mengetahui pasti isi pikiran orang di depannya. Hamza begitu acak pola pikir dan tindakannya, terlihat menggebu-gebu, dan kadang terlihat biasa saja, malas tau, dan lempeng. Kini yang Dayana tidak habis pikir, kenapa Hamza begitu memaksa untuk kembali dengannya?

Untuk apa? Buat apa? Harusnya Hamza memaki saja dirinya alih-alih memohon untuk kembali merajut kisah. Apa jangan-jangan Hamza ingin balas dendam layaknya seperti di film-film yang kerap Dayana tonton? Si pria berpura-pura mendekati wanita demi membalas dendam.

“Saya minta maaf terlalu memaksa kamu, Dayana. Saya janji akan menunggumu Sampai siap.” Setelah berkata demikian, pria itu berjalan meninggalkan Dayana sendirian di tempat ia berdiri.

Dayana merasa sedikit bersalah sekarang. Tidak hanya itu, ia juga sedih. Astaga, ada apa dengan diri Dayana saat ini? Begitu membingungkan, dan sama sekali tidak bisa ia tebak mau diri sendiri. Satu sisi, Dayana ingin menikmati masa-masa sedih ini, satu sisi ia menginginkan Hamza. Tapi bagaimana dengan Maya?

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang