🛳️ | Bagian 05

528 60 2
                                    

🛳️ Bagian 05 🛳️


“Mau?” tanya pria di samping Dayana, mengulurkan cokelat dari saku celananya.

Dayana menolehkan kepala, menatap sebatang cokelat di tangan Hamza. Ya, Tuhan, apalagi ini? Dayana tidak mau terlibat sesuatu lagi dengan pria di sebelahnya.

Ck! Tapi memang hati suka berkhianat dengan otaknya, Dayana pun menerima cokelat itu dengan rasa senang. Sadar Dayana!

“Makasih, mas,” seru Dayana, menatap lawan jenisnya itu dengan canggung.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang keduanya bahas. Hingga lima menit kemudian bus pun berjalan meninggalkan hotel.

Dayana tidak habis pikir, dari banyaknya tempat yang ada di dunia ini, kenapa ia harus bertemu Hamza di sini? Maksudnya, setahu Dayana, Hamza ini sudah menjadi salah satu arsitektur terkenal di sebuah perusahaan konstruksi, bahkan posisinya cukup tinggi di sana.

Iya, Dayana kaget kenapa orang sesibuk—yah, mungkin saja kan, walaupun Dayana sama sekali tidak begitu tahu tentang pekerjaan anak Arsitek, tapi dulu waktu kuliah ia sempat berteman dengan mereka karena satu kelompok Ospek—Hamza bisa berjalan-jalan.

Kalaupun pria itu cuti, berarti ia memakai masa cuti selama satu tahunnya? Seperti Dayana yang menghabiskan 7 hari—masih tersisa 5 lagi untuk 12 hari annual leave per tahun. Jadi setiap bulan ada satu hari jatah cuti kerja—untuk berlibur?

Tapi ... Ada yang lebih aneh dari itu semua. Kenapa Hamza ada di sini? Maksudnya, kenapa ia bergabung dengan mereka di sini? Hamza kan orang kaya, punya duit yang bisa ia gunakan untuk private trip atau apalah yang lebih privasi daripada bergabung dengan open trip. Dan sejak awal pun nama Hamza tidak ada di daftar 10 Anggota open trip yang Dayana ikut. Ada yang aneh di sini. Ingatkan Dayana untuk bertanya pada travel agent mereka nanti.

Pada akhirnya, Dayana kembali berspekulasi sendiri tentang Hamza. Ck! Ini liburan atau mau mengenang masa lalu? Pikir Dayana, tanpa sadar ia membuang napas gusar yang terdengar cukup jelas.

Dasar akan ada yang baru saja ia lakukan, Dayana langsung mengigit bibir bawahnya.

“Dayana?” panggil Hamza pelan. Ah, ada sedikit perubahan pada suara pria di samping Dayana ini, entah kenapa lebih seksi di telinga Dayana.

“Iya?" Whattt! Dayana apa yang kamu lakukan! Pekik wanita itu dalam hati, wajah Dayana sontak berubah warna menjadi merah! Ingat Dayana, ceritanya kamu lagi pakai earphone, dengar lagu! Masa langsung menyahut, kesal Dayana pada diri sendiri.

Tawa pelan Hamza kini memenuhi gendang telinga Dayana. Refleks wanita itu membuang wajah ke arah lain, menyembunyikan rasa malu yang sudah sampai ke ubun-ubun kepala.

“Kamu masih sama, yah, seperti dulu,” ujar Hamza setelah melerai tawanya.

Mendengkus panjang, Dayana mengabaikan ucapan Hamza dan kini berpura-pura saja untuk tidur. Dasar, masih ingat saja kebiasaan Dayana yang satu ini. Memang dulu ia selalu melakukan hal yang sama seperti sekarang. Dalam hati ia berdoa agar sampai cepat di bukit Silvia.

Jantung, yang tenang di dalam, yah. Ini kita bukannya mau senang-senang di kita orang malah kena serangan jantung! Batin Dayana.

“Kamu ... Ada waktu kosong?” Dayana kembali mengabaikan ucapan Hamza. Sebenarnya ia ingin menjawab ada! Demi apapun, Dayana sadar! Sekali lagi bangun Dayana! Jangan membuat luka untuk kesekian kalinya!

Lagu pula, Dayana tidak yakin niat Hamza baik untuk berbicara padanya. Kakak laki-laki mana yang aman jika melihat penyebab adiknya hancur—walaupun sekali lagi Dayana tekankan itu cuma kesalahpahaman! Dayana sama sekali tidak melakukan apapun!—hingga image baik sudah pasti dicabut oleh keluarga, kerabat kakak Maya ini, Hamza.

Sesampainya di bukit Silvia yang jaraknya cuma 900m dari hotel namun terasa seperti 9km untuk Dayana. Tur guide pun mulai bersuara, memberikan informasi bahwa mereka akan berjalan, menaiki bukit yang sangat indah itu.

Dayana melirik Bella yang sudah terlebih dahulu turun, sedangkan Keenan masih duduk di tempatnya. Ck! Dayana telah melakukan kesalahan yang membuat ia dan Bella sama-sama berada di posisi bingung harus berbuat apa.

Dayana mengejar langkah Bella, berusaha melupakan Hamza—meskipun itu hanyalah kesia-siaan belaka—yang berjalan di belakangnya.

“Hey. Gimana?” bisik Dayana, merangkul pundak Bella yang lebih pendek darinya.

Gadis itu memajukan bibirnya beberapa centi. “Ya, menurut mbak gimana? Aku udah mirip kanebo kering tadi, hampir mati karena keseringan tahan napas,” keluh Bella.

Mengangguk paham, Dayana kurang lebih bisa memahami betul apa yang tadi Bella rasakan. Menatap penuh bersalah pada gadis di sampingnya ini, Dayana pun berseru.

“Sebagai ganti permintaan maaf saya, kamu mau nggak saya traktir nanti pas sampai di Surabaya?” tawar Dayana, padahal meminta maaf saja belum, tapi sudah menawarkan terlebih dulu.

“Bener, yah, mbak? Kebetulan uang saya berkurang. Makasih, mbak Dayana!” seru Bella bersemangat, bahkan rona sedih yang tadi terlihat jelas langsung lenyap dan tergantikan dengan kedua mata yang tenggelam di balik kelopak dan juga deretan gigi putih menampilkan lesung pipi pada wajahnya.

Keenan bodoh, Bella cantik gini dianggurin. Kukasih Lanang pasti diapelin detik itu juga. Kembali Dayana membatin sambil menatap wajah Bella dengan saksama.

“Kamu mau, tak, mbak kenalin ke anak-anak mbak di bengkel kalau nggak jadi sama Keenan?” tawar Dayana, menaikturunkan alias menggoda Bella.

Seperti biasa, pipi Bella bersemu merah, tapi wajahnya malah berubah sendu. “Nggak mbak, saya suka cari sendiri. Kalaupun nggak dapat mas Keenan yah, Ndak papa, asal jangan dijodohkan. Kesannya nggak nyaman.”

Kepala Dayana mengangguk pelan. Ia paham, dan membenarkan ucapan Bella. Kalau dijodohkan, sejak awal isi kepala orang yang mau dijodohkan pasti ter-sugesti rasa suka, dan membuat terkesan agak tidak natural, kasusnya mirip anak kecil atau remaja yang suka cie-cie-in anak cewek orang, kan malah tidak terlihat natural? Membuat rasa itu hadir bukan karena rasa ingin sendiri. Walaupun bisa saja menjadi cinta yang sesungguhnya.

“Mbak Dayana ada pacar anak bengkel, atau suami orang bengkel?” Kali ini Dayana tertawa pelan mendengar pertanyaan Bella. Apa ia setua itu sampai banyak orang—bukan hanya Bella—yang beranggapan bahwa ia telah menikah? Yah, memang umur Dayana sudah bisa menimbang Bayi.

“Ehem!”

“Ehemm!”

Detik berikutnya Dayana mengentikan tawaannya, begitu pula dengan Bella. Mereka berdua perlahan menoleh ke belakang, saat itu pula keduanya menghentikan langkah secara mendadak karena suara dehem-an dua orang yang berada tepat di belakang Dayana dan Bella. Menjadi penyebab utama kedua perempuan itu seperti terserang penyakit jantung alias berdegup kencang dan paru-paru yang bekerja kurang maksimal dalam menghantarkan oksigen!

Double kill! Mereka ... adalah Hamza dan Keenan.

“Kenapa berhenti?” tanya Keenan, matanya menatap Bella dengan ... Bahkan Dayana tidak tahu harus mendeskripsikan gambaran mimik cowok itu seperti apa.

Mengalihkan pandangan ke sebelah Keenan, spontan Dayana tersenyum canggung. Sialan, kenapa wajah Hamza kaku dan tatapannya tajam seperti ini? Bulu kuduk Dayana meremang seketika.

Tatapan macam apa ini? Sangat mengintimidasi dan penuh tanda yang yang seakan-akan menyuruh Dayana untuk menjelaskan semuanya. Hmm ... Tatapan tatapan kekasih yang cemburu?

“Mbak! Ayok.” Bella menarik tangan Dayana untukmembawa mereka pergi dari sana.

“Dayana!” panggil Hamza, menahan tangan Dayana yang bebas, tidak digandeng Bella.

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang