🛳️ | Bagian 04

566 61 0
                                    

🛳️ Bagian 04 🛳️

Sesuai dengan jadwal mereka hari ini. Dayana dan kawan-kawan akan pergi ke bukit Silvya untuk melihat matahari terbenam. Dayana sudah bersiap-siap dengan celana jeans panjang sobek-sobek andalannya, juga kaos hitam polos. Rambut panjang yang menjuntai ke pinggang ia ikat ekor kuda hingga warna merah mudah semakin terlihat jelas.

“Udah gitu?” tanya Dayana pada Bella yang juga sudah siap, pakaiannya masih sama, hanya Bella mencuci wajahnya agar tidak kusam.

“Ini, pakai. Masih baru. Dikit aja, biar makin cerah.” Dayana mengulurkan lipstik yang masih tersegel ke arah Bella. “Kamu itu cantik, tapi buat kamu tambah menarik perlu ini.” Lanjut Dayana, menggoyangkan benda itu di depan Bella karena wanita itu hanya menatap ragu-ragu lipstik.

Bella menerima benda itu dan memakainya dengan canggung. Nah, kan kalau begini wanita itu tidak mirip seperti mayat hidup—menurut Dayana. Bella terlalu pucat, topikal orang yang jarang terpapar matahari.

Melihat itu—tingkah aneh Bella memandangi wajah sendiri di cermin—membuat Dayana untuk kesekian kali berdecak kagum dengan tingkah Bella. “Kamu jangan bilang belum pernah pakai lipstik, ya?”

“Ehehe, begitulah, mbak,” jawab Bella seraya menyengir kaku.

Dayana tidak bisa menahan rasa ingin mencubit pipi Bella karena gemas, maka ia pun mencubit pipi Wanita di depannya itu. Dayana lalu berjalan ke arah jendela kamar mereka yang menampilkan matahari yang sudah berada di ujung.

“Mines berapa, sih kamu?” Dayana bertanya, tanpa mengalihkan pandangan dari depan sana.

Bella berdiri dari kursi rias. Mengikat rambut sebahunya dengan asal-asalan. Ia lalu berseru. “Nggak mines, mbak. Cuma emang malu aja kalau nggak pakai kacamata.”

Sontak jawaban itu membuat Dayana mengernyit heran bersama dengan kepalanya yang berputar seratus delapan puluh derajat ke arah Bella. Ada apa dengan gadis ini, aneh sekali, wajah semua manusia itu indah, cantik, tampan, nggak ada yang jelek. Masa iya Tuhan menciptakan manusia tanpa berpikir panjang? Masa iya, Tuhan tega membuat anak-Nya jelek? Apa, Iya Tuhan yang membuat kotak-kotak tentang cantik dan tampan?

“Kalau gitu coba, deh, kamu buka. Kita pergi ke bukti Silvya tanpa ragu-ragu. Lagi pula di sini memangnya kita saling kenal? Nggak kan? Atau ada orang yang kamu kenal?”

Bella menunduk kepala dalam-dalam, tidak berani menatap balik Dayana. “A ... Ada, mbak,” jawab Bella pelan, malu-malu.

Mendengar itu, lantas Dayana sedikit terkejut. Jika memang Bella mengenal salah satu diantara 10 orang yang ikut open trip ini, kenapa ia bertingkah seperti tidak mengenal satu pun. Dengan dahi mengernyit, ia pun bertanya. “Siapa?”

“Keenan, Mbak.” Ah, jadi ada sesuatu antara kedua remaja ini. Hmm. Dayana tahu Keenan, cowok yang cukup tampan, ralat, tapi sangat tampan, wajahnya memang datar kayak papan triplek, rambut cowok itu juga panjang, khas anak Teknik karena Dayana sempat bertanya tentang pendidikan Keenan waktu di bandara.

Tok ... Tok ... Tok. Tiga kali pintu kamar mereka mendapatkan ketukan. Sial, maki Dayana ketika pikirannya entah karena apa malah membayangkan Hamza di depan kamar mereka dan mengetuk pintu, lalu mengajaknya keluar.

Cukup! Dayana cukup! Menarik napas panjang, ia kemudian berjalan ke arah pintu setelah memberikan kode pada Bella agar diam saja di tempatnya.

Membuka pintu kamar, Dayana membuang napas pelan. Kenapa ia kecewa? Harusnya Dayana biasa saja, memang apa yang ia harapkan? Tidak mungkin Hamza tiba-tiba mengentuk pintu kamar, lalu mengajak Dayana jalan-jalan setelah kesalahan besar yang ia perbuat! Sadar Dayana.

Dan ternyata yang ada di depan kamar mereka adalah Paul, pria berbadan sedikit berisi yang rambutnya selalu disisir rapi hingga tidak ada satupun yang berdiri.

“Kita mau berangkat, ayok, mbak,” ujar Paul memberitahu. “Saya kasih tau yang lain dulu, mbak. Nanti kumpul di depan hotel.” Lalu Paul pergi dari hadapan Dayana, lebih tepatnya ke sebelah kamar mereka.

Sebelum menutup pintu, mata Dayana melirik ke kamar Hamza, lalu menutup pintu. Dayana memberitahukan informasi yang sama pada Bella. Mereka pun kembali mem-fixed gaya mereka di depan cermin panjang.

Menoleh ke sampingnya, Dayana melepaskan kacamata tebal dari wajah Bella. Tampak gadis belia itu terkejut dengan tindakan Dayana yang spontan ini.

“Nah, kalau gini si Keenan itu bakal kecentol sama kamu, Bella.” Dayana mengedipkan mata kanannya, menggoda Bella yang bersemu merah.

“Makasih, mbak.” Bella mengigit bibir bawahnya.

Mereka lalu berjalan keluar dari kamar hotel, dan langsung di sambut dengan tur guide yang menyuruh mereka langsung masuk ke dalam mis mini yang ada di luar. Sepanjang perjalanan tadi, Dayana tidak henti-hentinya menolehkan kepala ke segala arah, ia juga tidak tahu apa yang diinginkan hatinya saat ini hingga menyuruh leher bergerak ke sana sini, berharap bisa bertemu atau berpapasan dengan Hamza.

Maki saja Dayana karena tidak tahu malu. Dulu Dayana-lah yang meninggalkan Hamza akan tetapi mengapa sekarang ia berharap? Ya, karena Dayana tanpa sadar telah menumbuhkan kembali harapan-harapan yang tidak seharusnya pertahankan.

Sial. Bukannya datang ke sini untuk melupakan si mantan sialan, ia malah bertemu dengan mantan gebetan yang ia ghosting. Mantap Dayana, nasibmu memang selalu buntung daripada beruntung.

Setibanya di dalam Bus, Dayana melihat Keenan duduk sendirian. Ini kesempatan yang bagus untuk membuat Bella dan Keenan berdekatan. Maka, Dayana memilih berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Bella yang kebingungan.

“Kamu duduk aja si sini, Bella. Aku duduk ... Di sini!” Dayana berseru kepada Bella sambil menunjuk bangku kosong di samping Keenan, membuat suasana yang sepi di sana langsung berubah karena pasang mata kini melihat Dayana sebagai pusat perhatian.

Dayana yang tadinya asal menunjuk bangku yang ada di depannya pun tidak menyadari jika ada pria yang duduk di sana, di samping jendela bersama earphone yang tersambung dengan ponsel.

Sekali lagi Dayana memanggil Bella yang bergeming di tempatnya berdiri sejak tadi. Menyuruh agar gadis itu berjalan cepat. Akhirnya Bella dengan berat hati menuruti saja ide gila Dayana. Setelah Bella duduk dengan aman, Dayana lalu berjalan ke bangkunya yang tadi ia tunjuk.

Belum juga ia duduk, pergerakannya berubah menjadi kaku, lalu tidak bergerak, terdiam. Bersama dengan pipi Dayana bekerja layaknya mesin mobil yang tidak pernah diganti olinya, alias memanas!

Ya, Tuhan. Karma memang selalu ada, dan sedang Dayana alami detik ini. Di sampingnya, pria itu, yang sejak tadi ia pikirkan tengah mengangkat kepalanya sambil menatap Dayana dengan sama bingung dengan wanita itu.

Dayana sudah mirip seperti katup mesin motor yang salah ditempatkan, jantungnya berisik sekali di dalam sana, juga pernapasan Wanita itu sekarang boros, mirip bersin yang cepat habis, boros kan?!

Dayana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya memutar kepala ke sekitar. Sial! Isi bus mini sudah penuh! Ingin menghindar pun tidak bisa, ya kali Dayana duduk di atas bus!

“Kenapa nggak duduk?” tanya Hamza, menepuk kursi di sampingnya dengan pelan.

“Emm ... Iya, mas.” Dayana pun duduk dalam tenang. Segera ia berpura-pura memejamkan mata sambil mendengarkan lagu dengan headset yang tidak tersambung ke ponsel. Ini kebiasaan sejak dulu yang Dayana sulit untuk mengubahnya.

Menurut Dayana, ia masih ingin mendengar suara sekitarnya, namun tidak ingin terganggu juga. Paham kan? Maka memakai earphone adalah pilihan tepat. Aneh kah?

Hmm. Suasana seketika menjadi sangat canggung. Dayana oh, Dayana. Tadi minta untuk ketemu, sekarang pas ketemu malah resah dan gelisah. Dayana menggerutu dalam hati.

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang