🛳️ | Bagian 33

378 45 2
                                    

🛳️ Bagian 33 🛳️

Setelah mendengar cerita Hamza malam itu di rumah sakit, Dayana mulai melupakan kenangan terindah itu. Lagi pula, jika dipikir-pikir, setelah perjuangan panjang yang Hamza lakukan untuknya mana mungkin ia meninggalkan Dayana? Ah, bisa saja sebenarnya, hati manusia siapa yang tahu?

Intinya, Dayana memberikan satu kesempatan untuk Hamza. Setiap manusia berhak untuk mendapatkan satu kesempatan bukan? Kesalahannya yang kali ini pun bukan karena ia berselingkuh atau berhubungan gelap di belakang Dayana sehingga Dayana masih menoleransi.

Berbeda kasus lagi jika Hamza ketahuan selingkuh! Dayana pasti tidak memaafkannya. Enak saja cinta Dayana dipermainkan! Sungguh, dalam kamus wanita itu, tidak ada kesempatan bagi pria yang berselingkuh, main tangan, dan berkata-kata kasar kepadannya! Karena ketiga hal itu dilakukan dalam keadaan sangat-sangat sadar.

Jadi, Dayana tidak pilih kasih bukan? Yah, walaupun memang tidak bisa dipungkiri bahwa ia sedikit luluh dengan Hamza. Fakta bahwa cinta pertama memiliki tempat tersendiri di hati seseorang tengah berlaku pada Dayana. Pria itu memiliki ruangannya sendiri di hati Dayana, tidak mampu dan tidak ada yang bisa menggantikan posisi Hamza. Siapapun.

Teringat akan sesuatu, Dayana pun bertanya.“Mas? Kamu sama Lanang ada masalah kah?”

Hamza yang meletakkan nasi Padang ke dalam piring pun menautkan kedua alisnya. “Nggak ada, menurut, Mas. Pria itu menggeleng pelan, tersenyum canggih. Aneh. “Kenapa?” Lanjutnya seraya memberikan piring yang penuh makanan lauk menggiurkan isi perut Dayana.

Setelah tadi keluar dari kamar, Dayana pikir Hamza pergi ke mana, karena pria itu cukup lama menghilang. Dayana jadi parno sendiri karena Hamza yang menghilang tiba-tiba. Menunggu lima menit, akhirnya Hamza kembali bersama sekatung nasi Padang yang katanya ia beli di depan gang perumahan Dayana.

Tanpa menunggu lama lagi, Dayana mengomel panjang lebar. Kata wanita itu, kalau Hamza pergi atau keluar jangan lupa memberitahukan dirinya. Percayalah, Dayana menjadi sangat takut setelah kecelakaan itu. Pikiran negatif terus menerus memenuhi kepalanya, bagaimana jika terjadi sesuatu, bagaimana kalau ... Dan hal lainnya yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan terlalu berlebihan.

Dengan lembut dan sabar Hamza menjawab Dayana tadi, meyakinkan wanita itu bahwa ia baik-baik saja, dan selalu menaati peraturan lalu lintas—Memiliki SIM, membawa STNK ke mana-mana, taat rambu-rambu lalulintas, juga tahu batas kecepatan maksimum, memakai sabuk pengaman, dan sebagainya! Setidaknya hal itu membuat Dayana lebih tenang dan sedikit menyesali apa yang ia berbuat.

Pasalnya, Dayana bukanlah tipikal orang yang seperti ini. Demi apapun, ia akan memberikan kebebasan kepada pasangannya dalam melakukan apapun, namun akhir-akhir ini, Dayana mulai berpikir untuk lebih peduli, menghargai kesempatan yang diberikan Tuhan, juga mengurangi hal-hal buruk karena hidup hanya sekali.

“Dayana?” panggil Hamza, menepuk punggung tangan wanita itu dengan senduk makan yang belum ia gunakan.

Menggeleng pelan kepalanya. Dayana meminggirkan sejenak pemikirannya dan fokus berbicara, membalas ucapan Hamza.

“Hmm ... Soalnya dia agak aneh.” Dayana tertawa kaku. Tidak mau menambah suasana kecanggungan mereka entah karena apa, Dayana memilih untuk mengisi perutnya yang berbunyi beberapa kali.

“Dia kayaknya suka sama kamu, Dear,” ucap Hamza. Sontak Dayana yang mendengar pun tersendak makanannya sendiri.

Wanita itu melebarkan mata seraya meletakkan sendok makan dengan kasar di atas piring. “Janhan ngasal, Mas! Ingat, dia masih kecil. Udah kayak adik!”

“Itu kan menurut kamu, dear. Mana tahu pemikiran dia berbeda? Terus apa, sih, arti umur itu kalau memang tertarik?” Benar. Ia setuju dengan pendapat Hamza yang ini. Dayana tidak tahu isi kepala anak-anak Bengkel tentangnya selain cara mereka memperlakukannya dengan sangat baik—meskipun banyak yang bikin Dayana pusing karena tingkah mereka!

Menggaruk kepalanya yang gatal karena kegerahan tiba-tiba—Dayana belum sempat mencuci rambutnya. Ia berseru. “Kamu nggak cemburu kan?”

“Hak dia buat suka sama kamu. Asal kamu jangan suka sama dia. Kalau cemburu? Pria mana yang senang kekasihnya dilirik sama cowok lain, walaupun umurnya masih begitu muda," respon Hamza sembari terus menatap Dayana dengan cekungan di bibirnya yang sedikit tebal.

Aish! Dayana lemah kalau begini, ucapan Hamza banyak gulanya, bisa-bisa wanita itu Diabetes! Ck! Malu sendiri, pikir Dayana. Umur mereka terbilang sangat lebih dari cukup untuk menikah, namun pembahasan seperti ini saja mampu memproduksi banyak hormon adrenalin pada dirinya!

Menarik napas dalam-dalam, Dayana tidak lagi melirik Hamza dan memutuskan untuk fokus saja makan dengan senyum tipis yang mekar di kedua pipinya.

Oo, masih adakah cinta yang abadi, menyatukan dua hati saling isi? Daun pun bernyanyi alam berseri, seindah musim ceri! Seketika lagu tersebut memenuhi isi kepala Dayana. Jatuh cinta memang se-ajaib ini.

Tidak ada yang bersuara, keduanya sibuk dengan makanan hingga lima menit kemudian Hamza telah membersihkan piringnya hingga tidak ada sisa sebiji nasi pun.

Satu hal yang Dayana tahu sejak dulu, Hamza adalah tipikal orang—yang mungkin saja bagi beberapa orang baru mengenalnya akan beranggapan bahwa ia kelaparan—yang menghabiskan piringnya hingga bersih, tidak ada satu ampas pun nasi selain tulang atau memang itu tidak bisa dimakan secara langsung, misal lengkuas.

Lekas pria itu bangkit dari kursi dan berjalan ke arah dapur yang berada langsung di samping ruang makan.

“Makannya cepat, Dear. Biar sekalian saya cuci piringnya," tegur Hamza. Dayana sejak tadi tidak melepaskan pandangan dari kekasihnya itu pun gelagapan.

“Nggak usah, Mas. Taruh aja, ntar aku cuci,” Tolak Dayana.

Hamza menggeleng dari posisinya berdiri. “Nggak papa. Hitung-hitung belajar jadi suami yang baik.”

“Manis bener, Mas? Belajar dimana, nih?” sahut Dayana, memiringkan kepalanya seraya menaikturunkan alis.

Ini tidak boleh dibiarkan. Dayana tidak mau kalah dengan Hamza. Sebagai wanita yang terkenal tangguh, masa iya, ia gampang deg-degan hanya karena ucapan Hamza? Iya! Karena ucapan Hamza! Kalau orang lain, mungkin mata Dayana sudah memutar malas, juga lambungnya seakan meminta mengeluarkan isi makanan, alias muntah.

Sesegera mungkin Dayana menyendok makanan sisa makanan ke dalam mulutnya hingga penuh, hanya tersisa sedikit nasi di atas piring. Tahu sendiri kan kalau porsi nasi Padang kalau dibungkus sebelas dua belas sama makanan buruh bangunan.

”Enggak usah, mas. Dibilang juga.” Dayana merebut piring dari Hamza, lalu mendorong pria itu sedikit menjauh dengan kesusahan. Tahu sendirilah proporsi tubuh Hamza mirip Goliat.

“Padahal nggak papa saya yang cuci.”

“Iya nanti setelah kita menikah, yah?” Dayana mengedipkan mata kanannya. Yeah! Akhirnya Dayana mampu membalas ucapan pria itu.

Tertawa kecil, Dayana pun menyalakan keran air setelah membersihkan sisa makanannya ke dalam tempat khusus ampas-ampasan.

Tangan Dayana berhenti bergerak ketika pinggangnya dililit sebuah tangan kekar yang begitu hangat, lalu disusul dengan pundaknya yang menjadi sasaran kepala si pelaku, Hamza.

“Kamu deg-degan?” tebak Hamza. Hamparan napas pria itu menerpa kulit leher Dayana karena pria itu sedikit memiringkan kepalanya.

Dayana melirik dengan ekor mata. “Mas enggak deg-degan dekat sama aku?” Dayana balik bertanya.

“Kamu tahu jawabannya.”

Ah! Sialan! Jantung Hamza memang benar-benar berdegup kencang di dalam sana, persis seperti Dayana, bahkan kini detak mereka seirama. Dayana tersenyum lebar.

“Udah, mas! Aku cuci piring dulu, ya? Kamu mending bersih-bersih meja makan,” usir Dayana dengan mata melotot. Jika terus-menerus Hamza di sana, bisa-bisa Dayana memecahkan piring!

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang