🛳️ | Bagian 15

442 53 6
                                    

🛳️ Bagian 15 🛳️

Tiga puluh menit berlalu, Dayana dan Hamza masih berada di dalam kamar pria itu. Dayana merasa lebih tenang dan sedikit lega sekarang. Bukan sedikit tapi sangat lega! Setidaknya Dayana tahu jika Hamza tidak menyalakan Dayana atas semua yang terjadi.

“Maya apa kabar, Mas?” tanya Dayana, memulai obrolan. Sejak pertama kali bertemu, kalimat ini salah satu hal yang ingin ia layangkan kepada Hamza.

Tidak berbohong, Dayana begitu merindukan Maya, ingin kembali seperti dulu, tertawa, bercanda dan saling bergosip ria tidak jelas—meskipun Dayana tahu gelas yang pecah tidak bisa kembali utuh seperti semula—dan sesekali menggoda Hamza yang tiba-tiba lewat di hadapan mereka, ia, Maya dan Dara.

“Hmm ... Dia butuh kamu.” Dayana mengedipkan matanya beberapa kali dengan dahi mengernyit heran. Jujur saja ia bingung dengan perkataan Hamza.

“Maya kenapa?”

“Makanya, nanti Mas kasih lihat kamu keadaannya gimana,” ujar Hamza, tertunduk lemah dan tidak berani menatap Dayana.

Ada yang tidak beres. Dayana benar-benar tidak tahu menahu soal Maya. Ia layak dikatakan wanita tidak berperasaan karena begitu saja memutuskan untuk tidak mengetahui lagi tentang sahabatnya. Dayana tida bermaksud seperti itu, ia hanya takut dengan fakta-fakta lain, mungkin saja Maya telah hidup bahagia, dan Dayana ... Menggeleng pelan, Dayana tiba-tiba saja ingin bertanya banyak hal.

“Maya udah menikah? Punya anak? Atau tunangan? Pacaran sama siapa?”

Hamza tidak langsung menjawab pertanyaan Dayana. Ia melirik wanita di sampingnya itu dengan raut terkejut, terlihat pada tatapnya dan kerutan alis di kening. “Kamu nggak tau? Maksudnya, kamu benar-benar memutuskan semua informasi?”

Ucapan Hamza bagaikan cambukan di hati Dayana. Mendengar itu ia merasa campur aduk, bersalah, menyesal karena pergi begitu saja, kesal sebab ia takut sakit hati. Dayana juga takut.

“Maaf, mas. Aku baru balik dari tempat tugas satu tahun yang lalu, terus fokus sama bengkel,” jawab Dayana pelan, menyebutkan salah satu alasannya.

Hamza perlahan menarik tangan Dayana dalam genggamannya. “Mas nggak bisa menyalahkan kamu. Berada di posisi kamu juga bukanlah hal yang mudah. Kamu pasti sama sedihnya seperti Maya.”

Meneguk salivanya, Dayana mengulum bibir karena menahan air mata. Ck! Tadi ia sudah menangis, sekarang jangan lagi. Bukan kah ia terlalu lemah di depan Hamza?

Dayana menatap Hamza saat tangannya diremas oleh Hamza. Padangan kedua  pun saling bertemu.

“Kamu nggak bersalah. Mas percaya sama kamu.” Sekali lagi Hamza berkata dengan tulus. Kini tangannya sudah terangkat, mengusap pipi Dayana hingga wanita itu kembali menangis.

Ya Tuhan. Dayana tidak bisa berbohong kalau hatinya menghangat. Bila beban Dayana bagaikan balok besar di pundaknya saat ini, maka detik itu pula setelah mendengar kata-kata Hamza Dayana merasa sebagian bebannya menghilang.

Hamza satu-satunya orang yang berkata seperti ini, tentu selain orang tua Dayana yang telah berpulang ke pangkuan Maha Pencipta beberapa tahun yang lalu.

Tidak bisa menahan diri lagi untuk memeluk Hamza, wanita itu pun menghamburkan diri dalam dekapan Hamza. Ia menangis tanpa suara, meremasi pundak Hamza dengan menyalurkan rasa terima kasih dan juga sakit hati.

“Semua akan baik-baik saja. Saya selalu menemani kamu mulai detik kita bertemu kembali hingga sampai kapanpun,” bisik Hamza tepat di samping telinga Dayana, mengusap kepala wanita itu dengan lembut.

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang