🛳️ | Bagian 31

415 48 1
                                    

🛳️ Bagian 31 🛳️


Menatap keluar pintu untuk kesekian kali, Dayana mendesah pasrah. Apa yang ia harapkan? Tentu saja kedatangan Hamza. Siapa lagi pria yang membuat ia bisa menghela napas seperti orang dikejar-kejar rentenir?

Setelah sadar dari koma, banyak hal yang Dayana pikirkan. Namun dari banyaknya hal itu tak satupun yang mampu menjawab kegelisahan Dayana. Ada keinginan mendalam untuk bertemu dengan Hamza.

Tertunduk dalam, jadi begini rasanya tidak sadarkan diri selama berminggu-minggu? Apa seperti itu menjadi orang mati? Tidak ada yang ia ingat. Apapun. Yang Dayana ingat hanyalah kenangan terkahir ia bersama dengan Hamza di mall.

Jujur. Dayana tidak tahu sesungguhnya perasaan yang tengah melingkari hatinya. Ada rasa sedih, kecewa, marah dan juga tentu kerinduan untuk melihat Hamza.

Bagaimana bisa Dayana menyangkal perasaan ini? Ketika hatinya meminta terus menerus agar bersua dengan Hamza sedangkan otaknya terus memutar kilas balik tentang Hamza dan perempuan itu? Sialan!

Ah, sudahlah. Jam segini Hamza memang sibuk dengan pekerjaannya, lagi pula jika Dayana sakit apakah pria itu harus absen ke kantor? Siapa dirinya? Hanya wanita yang ... Ck! Semakin dipikir, Dayana semakin merasa sakit hati.

Lebih baik Dayana tidur sekarang. Memberi kode pada ketiga bujang, Bagas, Lanang dan Mahmud untuk tidur bahwa ia akan berbaring. Mereka pun mengangguk paham, dan membantu Dayana.

Dayana belum bisa berbicara dengan jelas, jika pun mau, tenggorokannya sangat sakit sekarang. Mungkin karena ventilator mekanik yang terpasang pada tenggorokannya. Intinya saat ini otot Dayana terasa kaku. Ternyata tidak menggerakkan otot-otot tubuh akan menjadi kaku seperti ini.

Sejak tadi hanya ada anak-anak bengkel, tiga bujang yang tersenyum lebar menyambutnya, bahkan Bagas menangis terharu. Dayana jadi tersentuh karena itu kepedulian mereka. Sebagai anak yatim-piatu, hal seperti ini sangat sentimental. 

“Dayana?” panggil seseorang dari arah pintu. Suara yang begitu Dayana rindukan. Jantung wanita itu berdegup kencang, matanya yang tadi sayu terbuka lebar sambil mengigit bibir bawahnya.

Berantakan. Hati Dayana luluh, melebur dengan semua keinginan dan juga kerinduan yang menulang. Aish! Pada akhirnya niat untuk berbaring pun hilang, berganti dengan tubuh yang kembali pada posisi semula, ditambah sedikit tegang.

Menoleh pada ketiga bujang. Dayana memberi tatapan dengan tanda bahwa mereka bisa meninggalkan dirinya dan Hamza sebentar saja. Lagi pula semua akan baik-baik saja, seharusnya bukan? Semoga.

Setelah itu, Bagas, Lanang dan Mahmud keluar dari dalam ruangan dengan Lanang yang tiba-tiba berseru pada Hamza agar tidak terlalu lama bersama Dayana. Tertangkap pada radar Dayana nada tidak bersahabat di sana, atau kupingnya saja yang ikut bermasalah karena lama berbaring?

Suasana hening seketika, walaupun sebelumnya juga sepi, hanya saja sekarang entah Dayana merasakan perasaan emosional sekali. Terbukti kedua bola matanya yang memanas, bersamaan dengan hatinya yang meraung.

“Dayana?” Sepertinya Hamza melihat Dayana menangis. Terdengar derap langkah kaki yang baju beberapa kali.

Dayana masih enggan mengangkat kepalanya, tangannya menggenggam erat seprei putih hingga kusurt. Pundak Dayana lalu bergetar pelan.

“Maaf. Mas minta maaf untuk segalanya. Mas salah! Sangat salah. Mas tidak cerita ke kamu dengan jujur. Mas siap untuk kamu tampar, Dayana. Atau kamu mau hina, maki saja mas. Mas ....” Hamza menarik napasnya. Pria itu juga menahan air matanya. Ia berdiri tepat di depan Dayana.

Dayana menggeleng kuat-kuat kepalanya hingga rambut hitam sepunggung bergerak. Seharusnya ia senang ketika Hamza mengucapkan kata-kata itu! Kenapa sekarang ia menangis tersedu-sedu?

Beberapa saat kemudian, tubuh Dayana ditarik ke dalam dekapan Hamza. Hangat, tubuh Hamza begitu nyaman untuk mendekapnya. Lalu sentuhan di pundak Dayana yang menjalari hingga ke kepala wanita itu. Semua sentuhan yang sangat nyaman untuk Dayana.

“Dear. Jika saya tahu ini bakal berakhir seperti ini, saya nggak akan menunggu dua kali untuk berkata jujur padamu. Saya benar-benar minta maaf. Sungguh, jika kamu marah pada saya. Saya akan pergi dari kehidupan da—”Ucapan Hamza tertahan.

Dayana menggeleng kembali kepala yang bersandar di dada bidang Hamza dengan kuat.

“Mas! Kok, ngomong gitu!” Dayana mendengkus jengkel, memukul lengan pria itu dengan sebal. Di sela-sela itu, ia meringis pelan.

Di saat seperti ini, bukannya pria itu meminta agar mereka tetap bersama, memohon untuk Dayana memberikannya satu kesempatan, Hamza malah merelakan dirinya begitu saja.

Dasar Hamza, kalau seperti ini letak kepekaannya mendapatkan nilai E!

“Mas minta maaf, Dear,” cicit Hamza sekali lagi.

“Aku tuh lagi kangen! Nanti saja kita bahas itu. Tapi sekarang pelukan dulu sebelum aku balik ngambek.” Dayana dengan susah payah mengutarakan setiap kata. Kembali wanita itu memeluk tubuh Hamza, melingkari pinggang pria itu dengan erat.

🛳️🛳️🛳️

Dayana melirik Hamza yang duduk di sampingnya di atas ranjang. Sejak beberapa menit berlalu—ketiga bujang juga sudah pamit pulang lima menit yang lalu—kedua insan itu hanya diam.

“Dayana?” panggil Hamza pelan, saking pelannya ucapan pria itu mirip seperti seperti bisikan lembut.

“Hmm?" gumam Dayana, masih menatap lurus ke depan.

“Mas boleh jelasin semuanya?” tanya Hamza hati-hati, memalingkan wajahnya untuk berhadapan dengan Dayana.

Dayana menggoyang kepalanya. “Aku kasih lima menit buat jelasin semuanya. Semua, jangan ada rahasia lagi,” ujar Dayana.

Meraup udara di sekitarnya. Hamza mulai menceritakan semua, dari awal. “Kamu boleh percaya atau nggak, tapi Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolak perjodohan dari bunda. Saya juga kaget, sekitar dua bulan yang lalu tiba-tiba bunda datang ke rumah saya, kasih tau kalau ada acara makan malam. Saya nggak tau, saya datang ke rumah dan tiba-tiba saja sudah banyak orang, dari keluarga si Dia.

Terus tiba-tiba mereka bahas soal pertunangan. Demi Tuhan, Dayana saya pun kaget waktu itu. Saya pikir itu cuma rekan bunda atau ayah. Saya langsung pergi dari sana. Tapi keesokan harinya bunda ngancam, kata Bunda saya tidak ada ...” Hamza melirik Dayana dengan tidak enak hati.

Berkedip beberapa kali, Dayana paham kelanjutan kalimat Hamza. Tante Refi mungkin saja mengecam keras untuk tidak  berdekatan lagi dengannya jika Hamza menolak perjodohan itu.

“Saya sebenernya bisa saja menolak perjodohan ini. Tentu sekarang sudah saya hentikan, Dayana. Waktu itu, ketika di mall, saya mau menghentikan perjodohan kami. Tapi saya nggak tahu kamu ada di sana.

Lalu, saya sebenarnya takut memberitahukan kamu tentang ide Bunda yang gila ini. Malam itu, hujan-hujanan saya ke kamu pas tahu kamu ke rumah. Saya ingin kasih tau kamu tapi ... Saya juga ragu, saya lihat kamu baik-baik saja. Jadi saya putuskan untuk diam dan menyelesaikan semuanya. Saya minta maaf untuk itu Dayana.”

Hamza memberhentikan penjelasan panjang lebar dengan menarik napas frustrasi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

Dayana diam, memperhatikan semua itu, setiap penekanan yang keluar, tatapan yang tertuju padanya dengan serius dan jujur, juga gerak-gerik tertekan yang membuat Dayana tersentuh.

“Dayana?” Wanita itu merespon seruan Hamza dengan membuang wajah berlawanan arah dari pria itu.

“Udah lewat dari lima menit!” seru Dayana, asal menyeletuk.

“Maaf.”

Merotasikan bola matanya ke segala arah, Dayana membuang napas panjang. “Bosan aku, mas. Ganti dengan kata lain, aja.”

“Saya sangat ... Sangat sayang sama kamu, Dayana. Saya cinta cuma sama kamu.”

Duh! Kan, Dayana jadi blush-ing pipinya!

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang