🛳️ | Bagian 34 [ Spesial Maya ]

413 44 3
                                    

🛳️ Bagian 34 🛳️

Setelah Mas Hamza pergi, entah kemana. Maya tidak tahu, dan ia pun bisa menebak asal kalau kakaknya itu akan pergi menemui Dayana. Bisa Maya rasakan aura kebahagiaan yang terpancar dari nada yang keluar dari bibirnya. Intonasi Hamza lebih tinggi dan bertenaga, sangat berbanding terbalik dengan awal kedatangannya yang mirip seperti orang kelaparan, tidak bertenaga.

Ah, menjadi orang buta membuat Maya begitu mengandalkan telinganya. Bisa di bilang telinga adalah mata kedua setelah semua warna menghilang, tergantikan dengan gelap.

Hidup berjalan sangat pasif dan begitu lambat bagi Maya. Rasa sakit terus ada, ia terkurung dalam ilusi yang dibuatnya.

Semua penyesalan, sakit dan sedih dan banyak lagi perasaan yang tak bisa dideskripsikan oleh Maya. Hingga ia berada di satu titik, di mana semua terasa kebas, tidak ada lagi. Memori-memori di kepalanya seakan secara alami menghapus banyak memori di kepala. Maya pikir, otaknya pun tahu ia sudah tidak mampu lagi untuk terus memikirkan tentang hal-hal yang dalam tanda kutip memacu rasa sakit dan juga tidak begitu penting untuk diingat.

Namun waktu itu, ketika pertama kali bersua dengan Dayana setelah lama. Ada rasa aneh yang memenuhi hatinya, campur aduk, tidak beraturan, sulit dideskripsikan, abstrak. Lebih dari sekedar emosi lama yang perlahan lenyap diobati waktu. Maya lebih mengedepankan egonya. Iya. Maya marah.

Kenapa? Kenapa Dayana baru datang? Mengapa Dayana baru menyapanya? Apakah jika ia tidak memiliki hubungan dengan Mas Hamza, maka ia tidak datang? Apa tujuannya hanya sebatas itu? Itulah yang menganggu ego Maya.

Baiklah, Maya juga salah di sini. Tidak ada usaha meskipun memiliki secuil keinginan untuk bertemu dengan Dayana. Mungkin ini terdengar seperti pembelaan diri yang sangat bodoh. Tapi Maya takut bertemu dengan Dayana, selain itu ia malu karena jauh dari mimpi dan harapan yang mereka bagi semasih remaja-sebelum kejadian itu terjadi.

Minder, tidak percaya diri, tiada ada rasa berharga dan kecil. Semua itu Maya pendam sendiri.

Lalu tentang belum juga operasi mata? Maya merasa bersalah dengan Dara. Demi Tuhan, malam itu ketika keesokan harinya Dara dinyatakan meninggal dunia, Maya mendapat panggilan dari Dara namun tidak diangkatnya. Kira-kira 5 panggilan, dan 10 pesan tidak terbaca yang menanyakan keberadaannya.

Diam-diam Maya menyalakan dirinya karena jika malam itu ia sadar dan segera membalas pesan dan menerima telpon Dara, maka semua ini mungkin saja tidak terjadi. Dara masih hidup, dan mungkin saja hubungan mereka bertiga akan kembali membaik.

Tidak ada yang menyangka bahwa keesokan harinya Dara memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mungkin saja jika Dara ada di sana, mendengarkan kesedihan, tangis, dan keluh kesah Dara. Wanita itu masih ada hingga detik ini.

Sekali lagi semua itu hanyalah pengandaian yang sangat menyakitkan, dan penuh dengan penyesalan yang akan ia bawa seumur hidup.

Menerawang ke sore itu, kira-kira tiga Minggu yang lalu. Maya duduk di taman belakang rumah. Tiba-tiba ia mendengarkan suara tangis seseorang. Suara wanita yang begitu jarang ia dengar. Tetap diam pada posisinya yang berada di balik tanaman yang menutup seluruh tubuh dan juga kursi rodanya, hatinya terguncang.

Maya pikir, Bunda Refi adalah wanita kuat. Iya, maksudnya, terkahir kali ia mendengar bunda Refi menangis saat ayahnya ketahuan selingkuh, dan menikah dengan wanita lainnya. Itu pun Bunda Refi menangis diam-diam di kamar, setelah itu ia menampilkan sisi yang selalu terlihat kuat.

Kali itu, penyebab bunda Refi menangis adalah Mas Hamza. Wanita itu berbicara sendiri, maaf Maya mengatainya mirip orang tidak waras waktu itu, namun beberapa menit kemudian, Maya menyesalinya dan menarik kata-katanya dan terdiam seribu bahasa.

Apa selama ini Maya terlalu egois? Pikirnya. Hatinya tergerak, tembok besar nan tinggi perlahan roboh.

“Ya Tuhan. Aku bukanlah wanita yang baik. Aku bukan istri yang berbakti, dan jauh dari sosok ibu yang menyayangi anak-anaknya. Aku selalu egois, aku selalu diam. Tapi kali ini Tuhan. Hamza, biarlah dia hidup bahagia. Dia begitu hancur. Cukup Maya yang tidak bisa aku jaga dengan baik. Jangan Kau hancurkan lagi satu anakku ini.”

Itulah doa, harapan seorang ibu. Maya mengigit bibir bawahnya, ingin marah, namun bingung harus bagaimana caranya? Ingin bergerak mendekati bunda Refi, akan tetapi ... Ada rasa canggung dan aneh. Maka diam-diam Maya terus di sana, mendengar lebih banyak lagi kata-kata bunda yang menyayat hati.

Tidak jauh dari hari itu. Mas Hamza datang ke rumah. Maya ada di halaman rumah juga, baru selesai mandi dan gerah di dalam rumah seharian penuh. Yang Maya tangkap, Mas Hamza baru saja berjalan beberapa langkah lalu terdengar suara dentuman benda jatuh yang disusul dengan pekikan keras orang-orang sekitar—Bibi dan Satpam.

Bunda yang ada di dalam berlari cepat keluar, sekali lagi dengan telinga Maya menebak ekspresi wajah dan suara bunda Refi yang menjerit kencang.

Ternyata mas Hamza pingsan. Beberapa menit kemudian dokter datang memberikan informasi tentang keadaan pria itu—kelelahan, kurang istirahat, dehidrasi ringan, dan stress.

Mulai hari itu, Maya mulai bertekad untuk merubah dirinya. Mendengar bunda Refi menangis lagi dan keadaan mas Hamza yang memburuk karena Dayana yang koma, ia mulai mencari-cari waktu yang tepat agar berbicara dengan bundanya.

Tentang Dayana yang koma? Tentu Maya sangat terkejut mendengarnya. Maya baru menyadari juga rasa kehilangan di saat Dayana koma. Mereka memang terpisah bertahun-tahun, tetapi kenangan lama tetaplah memiliki nilai-nilai tersendiri, di dalam relung hati.

🛳️🛳️🛳️

Maya membuka album foto usang dan sedikit berdebu. Ia tersenyum kecil, menatap lurus ke depan seakan bibi yang telah membantu Maya mengeluarkan benda itu dari gudang rumah berada di depannya.

“Maksih, Bi. Bibi boleh pergi. Nanti aku panggil lagi.” Bibi pun pergi, meninggalkan Maya sendirian.

Meskipun dibalik mata yang tidak bisa melihat lagi, ada kaca-kaca bening yang siap luruh menjadi air. Menarik napas. Kini ia hanya bisa memegang benda itu sambil menebak pose apa yang mereka lakukan.

Kenangan-kenangan lama, dari mereka kecil, saling berbagi makanan, tangisan, jambakan, hingga derita. Dulu, Dara sangat cantik di antara mereka, menjadi primadona, sedangkan Dayana adalah wanita jago berkelahi yang siap sedia kalau ada seseorang yang menyakiti salah satu di antara mereka.

Tentang fakta bahwa Dayana bukanlah seperti yang dituduhkan juga diketahui Maya. Waktu itu ... Ia tidak percaya. Yah, karena Maya sendirilah yang melihat kekasih Dara yang terus mendekati Dayana, terlalu dekat. Rasa curiga demi curiga terus menumpuk, pandangan cowok itu—yang entah di mana sekarang ia berada—sangat jelas mengisyaratkan bahwa ia memiliki rasa dan niat sesuatu kepada Dayana.

Maya juga bersalah di sini, sebagai seorang sahabat, seharusnya ia bisa menjadi jembatan bagi Dayana dan Dara, namun asumsi buta dan dugaan tidak menentu membuat ia salah jalan. Semua kacau.

Intinya. Detik ini semua terasa ringan. Semoga semua baik-baik saja. Dan, yah, mungkin saja ia akan memutuskan untuk operasi mata. Sudah saatnya ia move on. Sudah waktu untuk Maya berhenti menyusahkan kedua orangtuanya. Baiklah.

Mengusap wajah yang basah oleh air mata yang sepertinya tidak mau berhenti mengalir, Maya kemudian menutup album itu.

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang