🛳️ | Bagian 01

1K 87 10
                                    

🛳️ Bagian 01 🛳️

Wanita berambut panjang, dicat berwarna merah muda itu turun dari taksi online dengan tergesa-gesa. Napas wanita itu memburu, campur aduk perasaannya kini.

“Kembalian buat Mas, saja!” seru wanita itu setelah membayar taksi. Ia berjalan cepat ke arah bangunan tinggi, hotel berbintang lima di Surabaya timur, jalan Menur Pumpungan.

Sore itu, masih sama seperti biasanya jika tidak terjadi apa-apa di antara wanita itu dan si pria yang ada di dalam sana.

Mengikat rambut panjangnya dengan asal. Ia berhenti tepat di depan meja resepsionis. Menahan emosi yang siap bergejolak di dada, wanita itu bertanya dengan nada senormal mungkin pada si mbak-mbak berseragam hitam itu.

“Ada Mas Muhammad Mansyur di sini?” To the point, ia bertanya di mana tepatnya kamar pria bejat kurang ajar, kurang belaian, mata selangkangan, sialan itu berada!

“Sabar, ya, Ibu, saya cek dulu.” Si mbak resepsionis pun melirik daftar tamu yang memesan kamar di sini pada layar lebar di depannya.

Sepatu hak tinggi wanita itu mengetuk lantai hingga menghasilkan suara, sabar menunggu mbak resepsionis menjawab pertanyaannya. Dalam hati wanita itu ia sudah berkomat-kamit dengan kata-kata serta membayangkan adegan WWE Friday night smackdown yang terakhir kali ia nonton tadi di ruang kerjanya.

“Hmm, kalau boleh tau, untuk apa, yah, Mbak?” tanya Mbak resepsionis, menatap si wanita.

Memutar bola mata cokelatnya dengan malas. Ah, wanita itu mendesah panjang. Jurus menipu pun harus ia keluarkan sekarang juga. Tidak masalah, pria bajingan itu memang ... Ck!

“Tadi dia telpon saya, katanya dia lagi sakit, sekarat mau mati. Dia makan salah, alergi, makanya jadi gitu. Mbak nggak takut dosa menghalangi saya ketemu orang sakit yang mau mati. Kalo saya ke sana kemungkinan dia selamat?” sampai di surga dengan jalur ekspres, lanjut wanita itu dalam hati.

“Ya Tuhan, mbak. Saya laporkan sekalian, yah, kebagian back office!” Wajah mbak resepsionis berubah sendu. Entah itu sungguh-sungguh atau apalah, wanita itu tidak peduli sekarang.

“Nggak usah, Mbak. Kalau saya sampai di sana langsung saya tolongin. Saya dokternya.” Wanita itu kembali berbohong.

Si mbak resepsionis menatap Wanita itu dari atas sampai bawa. Melihat penampilannya yang sangat jauh dari gambaran dokter pada umumnya yang terkenal dengan kata rapi. Yah, memang dokter harus rapi banget gitu? Penampilan itu nomor dua, yang penting skill di atas meja operasi, dan juga paham kasih resep ke pasien dengan pas! Hadeuh, wanita itu membuang napas dengan jengkel tanpa sadar.

“Mbak, kasih tau di mana kamarnya. Sebelum dia tewas.” Lanjut si wanita bersuara dengan nada menuntut agar mbak resepsionis cepat memberitahukan informasi yang dimintai.

Mbak resepsionis pun menawarkan sekali lagi agar si wanita pergi ke kamar pria itu bersama ball man, atau staff hotel lainnya, namun langsung ditolak wanita itu. Mbak resepsionis lalu menyerah dan memberitahukan di mana kamar Mansyur, nama si pria yang sering wanita itu panggil dengan Maman.

Menaiki elevator dengan langkah lebar, jantung wanita itu berpacu layaknya berada di atas relekoster, darah yang mengalir di sekujur tubuh wanita itu bagaikan disiram minyak panas, mendidih!

Ting. Elevator berbunyi, tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan gedung hotel di lantai 5.

“Kamarnya ada di lantai 5, nomor 503, berada di sebelah kiri elevator mbak. Nanti jalan dikit aja udah sampai, mbak.” Itu tadi kata-kata si mbak resepsionis.

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang