🛳️ | Bagian 21

406 41 1
                                    

🛳️ Bagian 21 🛳️

"Mas sebenarnya cuma mau jalan-jalan pakai dalam mobil, kita nggak keluarga. Iya walaupun nanti ada macet-macetan di jalan, tapi cuma mau sama kamu," jelas Hamza, suaranya yang serak basah yang bercampur dengan nada kelelahan membuat Dayana tidak sampai hati untuk meminta waktu agar ia bersiap-siap.

Ah. Dayana paham mau Hamza apa. Pria ini hendak menghabiskan waktu bersamanya, sekadar berjalan saja atau melakukan hal selain itu pun tidak masalah asal bersamanya. Hati Dayana jadi menghangat sendiri.

"Ya sudah. Ayok. Kita jalan-jalan di sekitar sini aja? Mau? Tapi jalan kaki aja mau?" sahut Dayana, memberi ide baru.

Terlihat Hamza yang sedang berpikir beberapa saat sebelum tersenyum teduh dan mengangguk kecil. "Kalau gitu kamu pakai jaket sama ganti celana dulu."

"Siap, Mas. Tunggu di sini, yah?" Dayana melejit gesit ke dalam rumah.

Tidak butuh waktu yang lama, Dayana kembali keluar dengan memakai hoodie dan juga celana tidur yang sampai ke mata kaki, walaupun sendalnya masih sama. Ia juga dengan kilat menyisir rambut, memakai pewarna bibir dan parfum. Ah, Wanita memang bisa melakukan apa saja jika berhubungan dengan penampilan, meskipun waktunya mepet.

Mereka pun berjalan keluar-tidak lupa Dayana mengunci pintu rumah dan pagar-dengan Dayana yang memeluk lengan Hamza dan meletakkan kepalanya di lengan pria itu. Tidak apalah sesekali ia manja seperti ini, sama pacar sendiri juga, pikir wanita itu.

Jujur saja, Dayana merasa senang dengan kehadiran Hamza. Walaupun pria itu tidak memberikan kata-kata penguat atau apalah itu, dengan kehadiran dan juga tatapan yang tulus sudah mampu memberikan ia kekuatan.

"Makasih, Mas," bisik Dayana sembari mengeratkan pelukannya pada lengan kekar pria itu.

Dayana mendongak ke atas, menatap Hamza yang juga melihat ke arahnya. "Kamu yang harusnya saya bilang terima kasih karena masih kuat."

"Mas? Apa Maya masih mau ketemu sama aku?" Dayana menunduk lesu.

Tidak menjawab pertanyaan Dayana. Tangan Hamza bergerak lembut di punggung Dayana. Sentuhan yang seakan-akan berbicara padanya bahwa semua akan baik-baik saja, dan Hamza akan selalu ada di samping Dayana.

"Mas keluarga kamu tahu hubungan kita?"

Hening. Tidak ada sahutan dari Hamza, begitu pula dengan sentuhan di punggungnya. Satu kesimpulan bisa Dayana tarik saat itu pula.

"Nggak papa, Mas. Aku hanya bertanya, kok. Jangan terlalu serius." Dayana mengakhiri perkataan dengan tertawa pelan.

Baru juga pacaran 1 Minggu beberapa hari Day, masa langsung dikenalin sama orang tua Mas Hamza? Batin Dayana merutuki diri sendiri.

Keheningan kembali mengisi suasana perjalanan mereka di malam itu. Rembulan di malam itu tidak terlihat jelas, begitu pula dengan bintang yang entah karena awan yang kelam atau cahaya yang terlalu terang di sekitar mereka hingga benda-benda gemerlapan itu tidak tampak.

"Mau ketemu sama mama dan papa?" Hamza tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kedua tangan mereka masih bertautan hingga Dayana pun mengikuti pria itu berhenti.

Kini saat Dayana balik mendapatkan pertanyaan untuk bertemu dengan orang tua Hamza, ia malah bimbang. Demi Tuhan, Dayana takut sekali dengan reaksi orang tua Hamza. Bagaimana jika juga mendapat penolakan yang sama?

"Nggak dulu, mas," cicit Dayana, gusar di hadapan Hamza.

"Kenapa?"

Tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dayana memejamkan mata sambil menimbang, apakah ia berkata jujur saja? Baiklah, ia pun menarik napas dan menjawab. "Bagaimana kalau aku ... Tidak diterima sama keluarga Mas?"

"Ssst? Jangan ngomong sesuatu yang belum terjadi. Nggak baik-baik menduga hanya dari satu sisi. Kenapa nggak berpikir saja kalau hubungan kita akan baik-baik saja?"

"Ada yang bilang agar kita nggak kecewa, kita harus memikirkan kemungkinan paling buruk, Mas," kata Dayana, membalas tatapan Hamza yang tidak berkedip. Dayana tahu Hamza setuju dengan ucapannya.

Dayana kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Hamza. Bukan apa-apa. Dayana sudah hidup terlalu banyak dengan kepahitan hingga ia skeptis terhadap hal-hal yang berjalan mulus. Misal saja tadi siang.

Pada langkah ke tiga, Dayana merasakan tubuhnya ditarik hingga kini ia berada di di depan pria itu. Tubuh Dayana saling bersentuhan dengan Hamza dan kepalanya berada tepat di depan dada Hamza.

Deg, deg, deg. Dayana meneguk salivanya kuat-kuat ketika mendengar suara debaran jantung Hamza yang sangat persis dengannya. Dayana melihat ke atas ketika Hamza menangkup dagu dan menyangga pinggangnya.

Dayana mengikuti alur dan naluri untuk memejamkan matanya dan perlahan ia masakan embusan hangat napas Hamza yang diikuti dengan benda kenyal yang perlahan bergerak lembut pada permukaan bibirnya.

Dahi Dayana dan Hamza masih menyatu, namun bibir mereka sudah berhenti bergerak, perlahan Dayana menjauhkan wajah dan membuka matanya.

"Mas nggak akan menyerah untuk hubungan kita," bisik Hamza, memeluk tubuh mungil Dayana.

Entah kalimat itu untuk Dayana atau sekedar penguat bagi pria itu untuk hubungan mereka.

Dayana belum tahu begitu banyak tentang keluarga Hamza. Sama sekali tidak tahu reaksi orang tua mereka. Yang ia tahu, terkahir kali ia bertemu dengan mereka, ia mendapatkan penolakan dan pandangan tidak suka. Ia tahu keluarga Hamza sangat kecewa padanya, dan Dayana sama sekali tidak tahu harus berbuat apa agar mereka tidak marah dan kecewa padanya selain menjelaskan semua secara jujur, atau malah menghindari mereka.

Setelah itu Hamza mengantar Dayana pulang ke rumahnya. Tidak ada percakapan, mereka sama-sama diam dan laut dalam dunia masing-masing.

"Hati-hati pulangnya, Mas," ujar Dayana ketika mereka sampai di rumah, berdiri di samping pintu mobil Hamza.

"I love you," ujar Hamza seraya mencium kening Dayana dengan sangat cepat.

Lantas Dayana tertawa kecil. "Mas bisa aja! Udah sana pulang, tidur yang cepat. Jangan lupa makan dulu, baca doa, terus bobo."

"Iya, Dear." Hamza mengangguk, ia kemudian membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalam.

Apa? Dear? Dayana tidak salah dengar kan? Ia baru saja dipanggil dengan sebutan Dear dari Hamza? Ia ingin meleleh saja dibuatnya.

"I love you too-nya mana, Dear?" Hamza mengangkat salah satu keningnya, meminta balasan Dayana.

Menggeleng kepala, Dayana menggerakkan tangannya untuk mengusir Hamza dari sana. "Udah sana pulang, Mas."

"Jawab dulu, baru mas pulang." Dih, mas satu ini lagi bucin atau gimana? Kok, jadi gini, sih? Batin Dayana, agak aneh tapi lucunya ia suka dan berbunga-bunga karena ucapan pernyataan cinta Hamza.

Berlagak galak, Dayana lalu berkata. "Iya. I love you too, Mas Hamza!" Dayana mendelik. "Udah sana pulang, Mas."

Kan, Dayana yang malu sekarang. Tingkahmu, Day, macam anak kecil yang lagi pacaran! Serunya dalam hati.

"Mas pulang, hati-hati, Dear."

"Hati-hati, Mas!" teriak Dayana, melambaikan tangannya sebelum Hamza benar-benar menghilang dari bayangan matanya.

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang