🛳️ | Bagian 20

433 46 1
                                    

🛳️ Bagian 20 🛳️

Sesuai janji yang Dayana dan Hamza sepakati kemarin siang. Hari ini Dayana sudah menunggu di sebuah kafe di Gubeng.

Suasana di cafe ini biasa saja, mirip seperti kafe pada umumnya. Di samping dinding terdapat papan tulis yang telah diukur dengan kata-kata penyemangat, motivasi, dan tidak lupa hukum Einstein yaitu E=m.c² yang mungkin—menurut Dayana—ada di mana-mana. Tidak apa, hal itu membangkitkan kenangan masa SMA ketika mereka—Dayana, Maya dan Darah—mempelajari fisika, pelajaran kesukaan Dayana yang selalu dirutuki oleh Maya dan dibenci Dara.

Ah, Dayana kembali terjebak kisah lalu.

Kembali pada masa kini. Dayana sendirian, sedangkan Hamza katanya akan menyusul bersama Maya setelah makan jam siang. Kalau berdasarkan informasi yang ia dapatkan, seharusnya beberapa menit lagi kakak beradik itu akan sampai di kafe ini jika tidak macet, namun seharusnya begitu.

Menarik napas berulang kali, Dayana mencoba menenangkan diri. Bertahun-tahun lalu mereka berpisah dengan konflik yang begitu pelik, dan kini mereka bertemu untuk pertama kalinya dengan masalah yang belum terselesaikan.

Tidak ada yang bisa kembali utuh walaupun Dayana menceritakan semua dari awal, meskipun Maya mau menerima permintaan maaf wanita itu sekalipun. Karena kertas yang terkoyak tidak mungkin kembali rapi seperti semula, sama halnya dengan persahabatan mereka. Ada banyak yang berubah, dan Dayana sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan ini.

Meremas kedua tangannya. Dayana gugup, jantungnya berdegup kencang, dan kepala wanita itu penuh dengan berbagai macam spekulasi. Ia sendiri bingung ketika bertemu nanti kalimat apa yang harus ia keluarkan untuk menyambut kedatangan Maya.

Membuang napas panjang. Dayana mengangkat kepala. Di saat itulah pandangannya bersinggungan dengan manik cokelat yang dulu selalu menemani masa-masa kecil hingga remajanya. Tidak sanggup menatap lebih lama lagi ke balik mata sang sahabat, Dayana menundukkan kepalanya dengan hati yang teramat sakit, seperti ada yang meremas dada wanita itu hingga sesak, dan penuh.

Air mata pun merontak keluar dan tidak bisa Dayana tahan lagi dan membiarkan luapan emosi yang sejak tadi ia tahan meluap.

Demi Tuhan. Dayana adalah wanita berdosa yang seharusnya dibenci. Bagaimana bisa ia tidak tahu jika ... Jika sahabatnya itu. Dayana mengigit bibir bawahnya, meremas kuat-kuat tangannya hingga kuku wanita itu memutih.

Maya buta? Maya lumpuh? Ada apa ini? Kenapa ... Kenapa semua menjadi seperti ini? Berada di luar pemikiran Dayana. Ia pikir Maya baik-baik saja, ia pikir Maya hidup bahagia, ia pikir ... Dan, Dayana pikir.

Menghapus jejak air mata di sana. Dayana tahu Hamza dan Maya telah berada di depannya. Dengan kepala yang berat untuk diangkat, Dayana menatap Maya dengan pilu.

“Ma ... May?” panggil Dayana, suaranya serak, bahkan tenggorokannya sakit karena menahan suara tangis.

“Dayana?” sahut Maya sambil meraba-raba sekitarnya, menoleh ke segala arah secara acak. Wajah wanita itu terlihat tidak suka, raut murka terpancar di sana.

Melihat itu, bertambah besar rasa bersalah dan juga sedih yang Dayana pikul. Menyeka air mata di kedua pipinya, Dayana kemudian menarik tangan Maya yang berada di depannya, memegang dengan erat.

Dayana berseru. “Ini aku, Maya. Dayana.”

Tiba-tiba saja tangan Dayana di sentak kasar oleh Maya. Sekali lagi, untuk tahun-tahun yang telah berlalu, Dayana kembali mendapatkan penolakan dari Maya. Seperti biasa, Dayana akan merasa sedih dan sakit hati. Terutama saat ini keadaan Maya yang jauh dari kata baik semakin menambah tingkat semua rasa yang menumpuk di dadanya.

“Kamu pembunuh! Kamu ngerusak segalanya! Sialan! Pergi sana! Mati ajaaaa! Nggak pantas hidup!” rentetan kata-kata itu bagaikan kilas balik yang Dayana rasakan dulu. Sakit ... Sakit sekali.

“Ma ... Maya?” panggil Dayana lemah, kepalanya tertunduk lemas.

Dayana merasakan bahunya dielus lembut. Tanpa melihat siapa pemilik tangan lebar itu, Dayana tahu pasti Hamza yang melakukannya.

🛳️🛳️🛳️

Dayana duduk termenung di depan kamarnya yang langsung menampilkan jalanan di luar rumah. Malam ini Dayana benar-benar tidak ada niatan untuk melakukan apapun.

Semua penyebab ini sudah pasti karena kejadian tadi siang. Seharusnya Dayana tidak boleh berharap tinggi jika kemarahan dan kebencanaan Maya padanya akan menyurut seiring berjalannya waktu. Apa yang ia harapkan? Maya dengan senang hati memeluknya, berkata bahwa ia juga merindukan Dayana? Bahwa ia telah melupakan semua kejadian masa lalu mereka?

Sadar Dayana, waktu mungkin saja obat hati, namun tidak semua jenis obat manjur kan? Dayana menghela napas, ia masih kecewa pada harapan yang sia-sia, tengang dugaan yang mematahkan tulangnya sendiri.

Saat itu, Dayana melihat sebuah mobil berwarna hitam yang sangat ia hafal plat nomor kendaraannya itu di luar otak. Menoleh kepala ke ponselnya berada, beberapa detik kemudian benda itu menyalah, menampilkan wajah seseorang yang memanggilnya.

“Mas Hamza?”gumam Dayana. Garis kerutan di dahi dan juga di ujung matanya membuktikan bahwa ia sama sekali tidak tahu kalau Hamza akan datang ke rumahnya. Dayana langsung turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, tanpa mengangkat telpon pria itu.

Setibanya di depan pagar rumah. Dayana langsung membuka pagar pintu rumahnya agar Hamza bisa masuk ke dalam.

Dayana tinggal di dekat jalan Mulyorejo. Wanita yang tidak memiliki saudara itu hidup sendirian, di rumahnya sendiri. Sedangkan rumah kedua orang Dayana berada di dekat rumah keluarga Hamza, maka sebab itulah Dayana tidak kembali ke sana dan memilih tinggal di sini. Lagi pula ia lebih senang tinggal di rumah sendiri, karena rumah orang tua Dayana terlalu banyak kenangan masa kecil dan juga bersama keluarganya.

“Makasih, Dayana.” Itulah ucapan pertama yang Dayana dengar setelah Hamza memarkir mobil di dalam parkiran.

Pria itu sepertinya baru saja pulang dari kantornya. Ia masih lengkap dengan kameja hitam, dan celana bahan. Di samping tempat duduknya di dalam mobil Dayana tahu ada laptop dan berbagai macam kertas bergambar sketsa yang ia sendiri pun tidak tahu.

“Mas mau masuk?” tawar Dayana.

Hamza menggeleng kepalanya. “Udah malam, nggak enak sama tetangga kalau mas masuk,” tolak Hamza seraya menarik tangan Dayana dan mengelusnya.

Mengerutkan otot  matanya. Dayana membuka suara. “Mau jalan-jalan?” tebaknya asal saja. Yah, mana tahu Hamza cuma jalan-jalan saja kan?

“Iya. Tapi mau sama kamu jalannya. Mau?”

“Mas kok nggak bilang-bilang dulu, biar aku bersih-bersih?” kata Dayana sembari memandangi dirinya sendiri dari ujung kaki yang hanya menggunakan sendal jepit, celana pendek sepaha yang gombrang, lalu baju kebesaran dan rambut yang berantakan. Jangan lupa wajah Dayana yang berminyak; kusam.

To be Continued

Our Second Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang