Malam itu, setelah puas menangis dengan kedok kesal pada Saka, Iris jadi lapar.
Sam tadi mengantarkan makanan dan saat pintu terbuka, aroma mie instan justru membuat daging semur yang tersaji menjadi tak lagi menggugah selera.
Sepertinya makan nasi hangat dan daging semur ditambah kuah mie instan pedas akan sangat lezat.
Ugh... Iris jadi kian lapar. Jadi, Iris memutuskan untuk turun mumpung orangtuanya belum datang. Iris sedang tidak dalam mood menerima pandangan sinis dari Mama.
Dengan perut yang keroncongan, Iris turun menuju dapur untuk memasak mie instan makanan paling nikmat bagi Iris. Sudah enak, murah, mudah dimasak, mengenyangkan pula. Masalah sehat tidaknya, itu bisa dipikirkan nanti.
Orang-orang pasti tak pernah mengira billioner sepertinya pernah mengkonsumsi mie instan.
Padahal, sejak kecil, makanan yang tersedia untuk Iris adalah telur, nasi dan mie instan.
Kadang kalau chef yang bertugas tengah ingin sedikit memberontak, mereka memberi Iris makanan mewah serta beberapa kudapan manis. Yang harus Iris makan secara sembunyi-sembunyi. Karena kalau ketahuan, chef tersebut akan dipecat.
Tapi tak apa. Iris tak masalah makan dengan mie instan. Buktinya kini, senyum yang jarang sekali muncul di wajah dingin itu terbit ketika melihat mie keriting di panci mulai melunak. Ia putar untaian yang terbuat dari tepung itu menggunakan garpu. Ia angkat lalu menggigit sehelai untuk mencari tahu apakah mienya sudah matang sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Ternyata masih terlalu ment-
BRAK!!
Suara bantingan pintu membuat Iris berjengit kaget.
"Aku bilang kita bahas nanti, Drey!! Aku capek. Sudah terlalu malam untuk bertengkar!!"
Teriakkan yang Iris kenali sebagai suara sang ayah itu menggema kuat di seluruh penjuru rumah.
Tangan Iris secara refleks mematikan kompor lalu bersembunyi di sela-sela kitchen isle dan dinding. Tubuhnya yang kurus mampu disembunyikan celah itu secara sempurna.
"Nanti kapan?! Kamu bilang kamu capek?" Mama Iris dan Sam itu berdecih keras. Tanpa melihatpun Iris bisa tahu ekspresi apa yang kini muncul di wajahnya. Wajah penuh jijik yang biasa ia lontarkan ketika berdecih. "Aku yang seharusnya bilang capek! Aku udah terlalu capek untuk terus-terusan sabar, Mas!!"
Iris menghela nafas lelah. Kenapa pasangan yang dulu sangat harmonis ini malah sering sekali bertengkar sekarang? Topik apalagi yang Haris dan Audrey ributkan?
"Terus mau kamu apa?" Haris mendesah lelah. Tidak hanya istrinya yang lelah. Ia pun sudah terlalu lelah dengan keributan yang terus menerus terjadi di rumah tangganya.
"Cerai! Aku mau cerai!" Audrey berteriak lantang dan tegas. Ini keputusan yang sudah sejak lama ia inginkan. Tapi ia terus menahannya. Dan kini Audrey sudah terlalu lelah. Ia bukan wanita sempurna. Melupakan dan memaafkan untuk sebuah pengkhianatan tak bisa ia suguhkan.
Tubuh Iris menegang seketika. Cerai? Cicitnya pelan. Masalah apalagi, Tuhan? Iris belum siap menghadapi perpisahan kedua orangtuanya.
Tidak akan pernah siap. Saat tinggal bersama saja ia sudah kesulitan bertemu dengan Mama dan Papanya. Apalagi ketika mereka pisah. Iris akan kemana?
Karena Iris yakin tidak satupun dari mereka sudi membawa Iris bersama mereka.
"Kamu ga akan pernah ngerti gimana rasanya hidup sama anak yang lahir dari pengkhianatan pasangan yang aku percaya." Lirih Audrey yang kini terisak. Mengingat kepercayaan yang ia beri sepenuhnya untuk Haris malah dibayar dengan pengkhianatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, goodbye!
Romance"Aku ingin hidup." -Taksaka Giovano "Aku ingin mati." -Iris