(Iris dibaca Airish. Jadi panggilannya bisa lengkap, bisa juga Ai atau Ash)
Iris tak henti-hentinya menatap jam berwarna putih di tangannya yang entah kenapa saat ini bergerak begitu lambat. Sungguh. Tiap detiknya terasa menyamai si menit.
Padahal tubuhnya sudah lelah. Hatinya sudah lelah. Ucapan Saka terus mengusiknya seperti rekaman yang diatur dengan mode loop. Terus berputar.
Dan ketika Iris menoleh, sosok yang menggentayangi pikirannya itu ternyata tengah menatap ke arahnya. Dengan senyum hangat yang selalu terpatri meski akan Iris abaikan. Analoginya, Saka memberi coklat panas yang menghangatkan tubuh, tapi alih-alih menerima dengan manisnya ucapan terimakasih, Iris malah menyebor coklat panas itu dengan seember air dan es melalui ekspresi dinginnya.
Membuang muka untuk kembali melihat lapangan yang beralaskan conblock berwarna dasar hitam dan bergaris merah, Iris mengambil ponsel untuk menelpon kembarannya. "Lo pulang kapan sih?!" Ujarnya geram begitu panggilan itu bersambut. Iris ingin segera menjauh dari Saka.
Sam menoleh pada Iris dengan mata mengerjap. "Kan gue udah bilang kalau gue ikut kelas tambahan matematika. Sekitar dua jam lagi baru pulang."
Sungguh kelakuan orang kaya aneh sekali ya. Padahal mereka bisa langsung berbicara tanpa perantara. Dan mereka memilih untuk menghambur-hamburkan kuota dan pulsa.
"Siapa? Iris?" Tanya gadis blasteran kanada-belanda bernama Ennik itu pada Sam.
Lalu Joana mengambil alih ponsel Sam untuk berbicara pada gadis yang keliatan semakin kesal. "Dah lah Ash, lo ikut kita aja. Saka juga sama pinternya kayak lo tapi masih ikutan kelas ini. Cuma dua jam kok. Daripada lo nunggu sendiri di luar. Kan serem. Gimana kalau nanti lo diajak kenalan sama penghuni lorong lab matematika dan gudang?"
"Gue denger-denger si mbak penghuni lorong itu bentukannya jelek lho, Ash. Berdarah-darah. Tangannya ilang satu dan kakinya bengkok. Hiiii..." Elle ikut menimbrung untuk menakut-nakuti sekaligus membujuk Iris dengan mitos yang telah turun temurun di sekolah ini.
Yorick mengangkat ibu jarinya sambil menatap bangga pada sang kekasih. "Jangan lupa anak buahnya yang usil suka colek-colek manja." Pacar Elle itu membicarakan sosok penunggu lain yang katanya sering mengganggu.
Sayangnya tidak berpengaruh pada Iris. Gadis itu tak takut hantu. Pun tak takut akan darah.
Tapi tawa yang menguar di teras depan lab matematika membuatnya semakin kesal. "Terserah! Gue nunggu di mobil!" Jemari yang berkuku lumayan panjang itu mematikan sambungan telpon lalu beranjak menuju parkiran.
Namun belum terlalu jauh, Iris mendengan saudaranya berujar, "Mungkin lagi moon day kembaran gue. Santuy aja." Sam mencoba kembali mencairkan suasana beku setiap Iris versi terbaru bergabung.
"Berisik!"
"Eh? Kedengeran ternyata." Ledek Seth. Diikuti tawa geli di mulut mereka. "Iya maaf!" Sam cekikikan bersama yang lain dengan volume super low agar tidak kedengeran kembarannya yang cosplay jadi maung super garang.
*
Kelas tambahan sudah selesai. Dengan langkah cepat, Sam berlari ke arah mobilnya di parkiran. Didalam mobil, Iris duduk dengan tatapan tak ramah pada kaca depan mobil. Kasian sekali kaca mobil itu. Tak memiliki salah apapun tapi disinisi oleh Iris. Pikir Sam.
Ini di samping Sam benar kembarannya kan? Bukan dedemit?
Meringis ngeri pada pemikirannya sendiri, Sam menjulurkan tangan pada wajah Iris lalu menusuk pipi bulat Iris dengan telunjuknya.
"Ck! Apaan sih?!"
Puji Tuhan.... Ternyata memang Iris. Bukan hantu. Dengan wajah garang seperti itu harusnya Sam tahu, hantu saja insecure duluan kalau ingin mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, goodbye!
Storie d'amore"Aku ingin hidup." -Taksaka Giovano "Aku ingin mati." -Iris