Awal Mula Hilangnya Warna si Dewi Pelangi
Apa kamu pernah merasakan rasanya tidak diinginkan?
Kalau belum pernah, maka dengar kisahku. Kalian akan mengerti apa definisi dari tidak diinginkan.
Keadaan dimana eksistensimu tidak memiliki arti. Ah salah. Tak memiliki arti jauh lebih baik dibanding dengan kehadiranmu merupakan beban untuk orang lain.
Itu aku.
Iris.
Hanya Iris. Tidak ada nama tengah dan tak memiliki nama belakang.
Padahal kembaranku punya. Samuel Darrend Hartono.
Aku tidak bisa mengeluh apalagi mengajukan protes. Bisa berbicara dengan kedua orang yang punya andil besar atas kehadiranku di Dunia ini saja sudah merupakan keajaiban.
Nama Iris pun aku dapatkan dari mendiang nenekku yang meninggal saat aku berumur 5 tahun.
Satu-satunya pelindungku dibawa pergi oleh Tuhan. Meninggalkanku sendirian menghadapi orang dewasa yang membenciku tanpa alasan.
Yang aku tahu, walau aku kembar dengan Sam, kami berbeda. Bukan masalah kembar identik dan tak identik. Melainkan perlakuan yang kami dapat jelas berbeda.
Sam diberi banyak kasih sayang sejak lahir. Banyak mainan, baju dan makanan. Kamar yang dihias indah serta fasilitas yang menakjubkan.
Sedangkan aku?
Ketika Sam menikmatinya kasur empuk saat terlelap, aku hanya bisa merasakan matras keras sempit karena harus berbagi dengan asisten rumah tangga saat itu.
Saat Sam tidak perlu kegerahan di malam musim panas, aku tidak akan bisa tidur karena sibuk mengipasi diri yang berkeringat gerah. Aku memakai baju seminim mungkin, tapi nyamuk menjadikanku sasaran empuk makan malam mereka.
Saat Sam didatangi oeh berbagai tutor hebat dibidang akademik dan nonakademik, aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Lalu bertanya pada Bik Inah walau sebagian besar pertanyaanku tak mendapatkan jawaban karena Bik Inah sendiri tak mengerti.
"Bibik ga sekolah, Non. Tapi Bibik bisa ngitung dan baca. Bibik ajarin baca, ya? Biar nanti kalau Non Iris pengen tau sesuatu, Non Iris bisa baca aja di buku."
Bik Inah adalah malaikat pelindung pengganti nenek saat itu. Beliau yang mengajarkanku membaca dan menulis. Hanya dasarnya saja. Bik Inah bilang, asalkan aku bisa membaca, banyak ilmu yang bisa aku dapatkan.
Demi aku... Bik Inah rela mencuri buku lama milik Sam ataupun Papa untuk aku baca. Agar aku mampu mengejar ketertinggalan pelajaran.
Hingga suatu hari, kegiatannya itu ketahuan.
Di hadapanku.
Tetap dihadapanku.
Aku melihat langsung dengan kedua bola mataku. Bagaimana perempuan berusia tiga puluh tahun itu meringkuk kesakitan di lantai dapur.
"Mama udah!! Maa! Iris minta maaf! Bik Inah ga salah... Iris ngambil buku ini sendiri. Tapi tadi Iris lagi males jadi nyuruh Bibik." Aku memeluk erat kaki Mama. Berharap kaki jenjang itu berhanti menghajar Bik Inah yang sudah mengeluarkan darah di mulut dan hidungnya.
Wajah penuh kasihnya sekarang hancur karena diinjak dan di tendang berkali-kali.
"Ya! Kamu yang salah! Memang kamu yang salah! Kamu tahu?! Bahkan kehadiran kamu saja adalah suatu kesalahan!" Mama menghempas tubuhku menjauh dari kakinya melanjutkan menghajar Bik Inah yang memintaku masuk ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, goodbye!
Romansa"Aku ingin hidup." -Taksaka Giovano "Aku ingin mati." -Iris