"Hei, Haechan, bangun."
Renjun menepuk-nepuk wajah berpeluh milik suaminya, khawatir dengan keadaan lelaki tersebut yang terus meracau tak jelas dalam tidurnya.
"Haechan." Panggil Renjun lagi seraya mengusap keringat di dahi pria itu. Entah apa yang sedang dimimpikan oleh Haechan hingga kedua tangan suaminya mengepal kuat.
"Chan bangun!" Teriak Renjun seraya mendekatkan mulut ke telinga suaminya, berhasil membuat mata Haechan terbuka lebar. Dengan mata memerah menatap kaget wajah Renjun yang ada di atasnya.
"Ren," Panggil Haechan terlihat linglung. Renjun bergumam, mengelus pipi pria itu untuk menyadarkannya.
Leher yang lebih tua ditarik agar semakin mendekat, "Kenapa, Chan?" Tanya Renjun saat Haechan mendekap lehernya erat.
Renjun ikut melingkarkan lengan kemudian mengelus pelan punggung lebar sang suami. Membisikkan kata penenang saat isakan kecil mulai terdengar tepat di telinga kirinya. Lingkaran lengan Haechan di lehernya mengerat, pria itu terus bergumam meminta Renjun untuk tidak pergi.
Pria kelahiran Maret itu mengangguk pelan, mengecup daun telinga suaminya sebelum kembali berbisik, "Shh... aku disini sayang."
Tangannya terus mengelus punggung lebar tersebut sampai akhirnya Haechan tenang dan perlahan melepaskan pelukannya. "Jangan pergi." Pinta Haechan dengan suara sengau.
Renjun tersenyum kecil, mengecup pucuk hidung si suami kemudian mengangguk, "Iya, aku gak pergi." Ucapnya lembut, menghapus jejak air mata di pipi gembil Haechan.
"Ren, aku gak mau ditinggal. Maaf, aku- semalem aku kelewat kesel. Maaf aku nyakitin kamu." Tutur Haechan dengan bibir bergetar, hendak kembali menangis.
Renjun tertawa pelan, membawa tangan besar Haechan untuk ia kecup, "Mimpi ya? Hmm?"
Haechan mengangguk ribut, membuat rambutnya bergerak lucu. Lagi-lagi membuat Renjun tertawa, Haechan yang ini berbeda dengan Haechan yang semalam, padahal masih satu orang.
"Udah, jangan sedih lagi. Aku gak mungkin ninggalin bayi beruang gemes ini." Ujar Renjun mencubit gemas pipi sang empunya.
"Janji?" Haechan mengulurkan kelingkingnya. Namun Renjun hanya terdiam memandangi kelingking tersebut, membuat pikiran Haechan langsung negatif.
"Aku gak bisa janji, tapi aku bakal berusaha biar bisa tetep sama kamu- Hei hei kok nangis lagi?" Renjun berujar panik.
Haechan menepis kuat tangan si manis yang hendak menggapai kembali wajahnya, mengusap kasar air matanya sendiri sebelum membalikkan badan membelakangi Renjun. Merajuk.
Renjun mengusap wajahnya bingung, perlahan kembali mendekati si lelaki tan, "Sayang?"
"Stop! Pergi sana kalau kamu tega liat Buntelan tumbuh tanpa Daddy-nya!" Marah Haechan, tidak ingin disentuh sama sekali.
Yang lebih tua mendesah pelan, 'Ya Tuhan, drama apalagi yang suami hamba lakukan...' Batinnya lelah.
Ini masih pagi, masih jam 6 pagi dan Haechan sudah merajuk. Hati pria itu sepertinya sedang sangat sensitif.
"Sayang, masih pagi, jangan drama dulu."
"Drama? Aku?" Haechan menoleh, menatap kesal suami mungilnya. "Aku gak drama Renjun! Kamu gak mau janji, itu artinya kamu pasti udah rencanain mau ninggalin aku terus bersatu sama cowok yang semalem kan?" Tuduh Haechan menggebu-gebu.
"Udah berapa kali kamu ketemu dia? Udah deket banget hubungan kalian sampai dia megang-megang kamu, kamunya diem aja? Suka?"
Renjun tercengang dibuatnya, pikiran Haechan sudah menjalar kemana-mana yang bahkan Renjun tidak ada kepikiran ke sana sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Baby | Hyuckren
Fanfiction[NP S2 :: Our Baby.] Renjun yang sedang mengandung itu mengerikan menurut Haechan, pemuda manisnya seakan-akan memiliki dua jiwa dalam satu tubuh. Renjun juga merasakan hal yang sama, Haechan seperti memiliki dua jiwa dalam satu tubuh.