Jisung tersenyum kecil melihat interaksi lucu Renjun dan Haechan di depan gerbang rumah mereka. Keduanya terlihat sedang berdebat, entah topik apa lagi yang kini menjadi bahan pertengkaran dua orang itu. Tubuhnya yang tinggi membuat ia bisa dapat dengan jelas mengintip lewat pembatas tembok.
Dirinya segera memalingkan wajah kala dua orang di depan sana berhenti bertengkar dan mulai bercumbu.
"Dasar." Gumamnya.
Jisung kembali menoleh saat mendengar suara mobil menjauh, ia tersenyum dan melambaikan tangan kala Renjun menatapnya.
Pria yang lebih pendek itu berlari kecil menghampiri Jisung, sedikit mendongak untuk menatap sang kawan.
"Nggak kerja?" Tanya Renjun membuka topik.
Yang ditanya menggeleng, menunjukkan ponsel yang sedari tadi ia taruh di dinding pembatas. "Jagain Jeno hyung biar tetep hidup lebih penting dari kerja."
Raut wajah Renjun yang tiba-tiba berubah khawatir membuat Jisung tertawa, "Tenang, selama gue belum di panggil, berarti masih bisa ditanganin sendiri sama dia."
Dengusan terdengar dari yang lebih tua, tangannya mengambil kasar ponsel yang tidak di kunci milik Jisung. Ibu jarinya dengan cepat menggulir layar ponsel tersebut yang menampilkan room chat Jisung dengan seseorang.
Renjun tidak habis pikir, kenapa orang ini malah mengirimkan foto tawuran tersebut pada Jisung daripada membantu Jeno?
Segera Jisung merebut ponselnya saat Renjun terlihat ingin mengetikkan sesuatu pada orang yang sedang bersama Jeno saat ini.
"Jangan." Larang Jisung menggelengkan kepalanya.
"Lo juga jangan kesana." Renjun ikut melarang.
"Terus? Siapa? Hyung?"
Renjun menggeleng kuat, dikondisinya saat ini, tidak mungkin baginya untuk membantu Jeno. Tapi Renjun juga tidak ingin Jisung yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri harus terjun mencampuri urusan si pemuda Lee. Terlalu berisiko.
"Hyung kalau bisa, tolong bantu, biar Haechan hyung gue urus." Tuturnya karena melihat Renjun terdiam sembari menggigiti bibir bawahnya, menandakan kalau pria itu tengah berpikir.
Renjun sontak menggeleng sambil melambaikan kedua tangannya mendengar perkataan dari Jisung.
"Nggak mungkin bisa. Kali ini gue gak mau berurusan sama mereka, sekarang gue punya Haechan sama Buntelan."
"Buntelan?"
Renjun sedikit memundurkan tubuh sebelum melirik perutnya sendiri, membuat Jisung melongo heran.
Tangan yang lebih tua menepuk dahi sang adik agar sadar, "Tutup mulutnya, nanti serangga masuk."
Tak menghiraukan, Jisung kembali bertanya, "Kok gue nggak dikasih tau?" Ada raut tak terima di wajah lelaki Park tersebut.
Bahu Renjun terangkat, "Lo nggak nanya." Jawabnya enteng.
Tapi setelah mengatakan hal tersebut, si manis baru tersadar kenapa Jisung terlihat tidak terima. Ia segera mengelus bahu lebar yang usianya lebih muda, berniat untuk minta maaf. Namun Chenle yang tiba-tiba keluar rumah dengan memegang handuk kecil membuat Renjun tidak jadi bicara karena Jisung segera meninggalkannya.
Renjun tersenyum membalas sapaan Chenle sebelum keduanya kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Renjun dengan banyaknya pikiran yang hinggap di kepala. Padahal ini masih pagi, tapi beban pikiran Renjun sudah menumpuk.
Renjun kini beranjak dari posisi, ia harus segera beres-beres, karena Haechan tadi memintanya untuk datang ke kantor saat jam istirahat pria itu nanti.
Tapi terlalu penasaran dengan pembicaraannya dengan Jisung, ia memutuskan untuk masuk ke kamarnya dahulu dan mengambil ponsel. Dirinya terduduk di pinggir ranjang seraya memutar-mutar ponsel tersebut.
Ragu ingin menghubungi Jeno sekarang atau nanti malam.
Kalau Jisung sampai menunggu kabar Jeno, itu berarti si pemuda Lee sedang dalam masalah serius, ya walaupun semua masalah Jeno itu serius tapi ini lebih serius.
......
Renjun menghela nafas panjang kala tungkainya berhasil sampai di depan gedung perusahaan si suami. Kepala si manis mendongak melihat tingginya gedung yang ada di hadapannya.
"Hoi!"
Pria mungil itu terperanjat kaget mendengar suara bisikan tepat di telinga kanannya. Ia segera menoleh, mendesis kesal saat menemukan cengiran lebar pemuda Na.
"Ngapain sih? Ngagetin tau." Misuh Renjun sembari menyikut perut pemuda itu emosi.
Jaemin hanya tertawa, senang melihat kekasih kawannya kesal. Rasa nyeri akibat sikutan Renjun tadi ia abaikan, Jaemin memilih untuk merangkul bahu sempit Renjun dan membawanya memasuki gedung di depan mereka.
Renjun tak henti menatap wajah si pemuda Na membuat yang ditatap kini bergumam, "Hmm?"
"Gue nggak ngomong apa-apa?" Ujar Renjun bingung sendiri saat Jaemin mendekatkan telinganya ke mulut Renjun.
"Lo ngeliatin gue mulu, kenapa?" Jawab Jaemin dengan pertanyaan.
"Muka lo kenapa?" Tanya Renjun menunjuk wajah penuh lebam pemuda di sampingnya dengan tangan yang kosong.
Jaemin tidak menjawab, pemuda itu hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya membuat Renjun bingung dan semakin penasaran. Renjun tau kalau ini bukan urusannya, tapi mulutnya pengen banget ngoceh rasanya.
"Ngeliatin mulu, naksir ya?"
Renjun sontak memalingkan wajah, mendengus pelan mendengar ucapan Jaemin yang terdengar percaya diri.
Kini tubuh mungil itu dibawa ke cafetaria kantor oleh Jaemin, karena sekarang memang sedang memasuki jam istirahat. Telunjuk Jaemin menunjuk satu meja yang berisi sekitar empat orang tengah mengobrol sambil menyantap makan siang.
"Perayu ulung, Lee Haechan." Celetuknya. Bukan tanpa alasan Jaemin mengatakan hal tersebut, dimatanya kini Haechan tengah duduk bersama tiga gadis.
Renjun entah mengapa terhibur mendengar celetukan tersebut, dirinya tertawa membuat Jaemin ikut tertawa walaupun sebenarnya pemuda itu tidak mengerti apa yang lucu.
Renjun mengambil nafas panjang sesekali mengipasi wajahnya yang terasa panas akibat tertawa tadi, moodnya sedang bagus saat ini. Maka dari itu ia kembali menatap Jaemin, "Jaem, gue boleh mukul muka lo gak?"
Sedikit terkejut, namun Jaemin tetap mengangguk, "Disini?"
"Iya, disini." Jawab Renjun mantap.
Jaemin kembali mengangguk, menutup matanya karena sudah terbayang bagaimana rasa sakit saat Renjun memukulnya nanti.
Namun setelah beberapa detik menunggu, bukan rasa sakit yang ia rasakan, melainkan usapan lembut di pipi kirinya.
Mata Jaemin kembali terbuka, menatap heran Renjun yang kini sudah menarik kembali tangannya, "Nggak jadi dipukul." Ujar pria manis itu seraya mengalihkan pandangan ke bawah.
Jaemin terkekeh, ia tidak tau, kalau sedari awal Renjun memang ingin sekali menyentuh wajah pemuda itu, kata 'memukul' hanyalah alibi si manis agar dapat menyentuh wajah tampan tersebut.
Dari meja sana, Haechan menggigit rotinya kesal akibat melihat kelakuan Renjun pada Jaemin. Ia cemburu, harusnya Renjun hanya melakukan hal tersebut kepadanya, tidak dengan orang lain.
Sementara Renjun menurut saat Jaemin kembali menggiring tubuhnya untuk berjalan mendekat ke meja dimana Haechan berada, ia menunduk untuk menyembunyikan senyumnya, dalam hati berdoa.
'Kalau nggak mirip Jeno, mirip Jaemin aja gapapa kok.' Batinnya mengelus perutnya dengan tangan yang ia gunakan untuk mengelus pipi Jaemin tadi.
Walau dirinya masih belum tau anaknya nanti akan perempuan atau laki-laki, tapi firasat nya mengatakan kalau anaknya nanti laki-laki, tapi kalau perempuan, mungkin ia akan pergi ke rumah Ryujin dan berharap wajah anaknya akan secantik sang kawan nanti.
......
Tolong dukungannya dengan vote dan silahkan tambahkan komentar. Terima kasih-!
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Baby | Hyuckren
Fanfiction[NP S2 :: Our Baby.] Renjun yang sedang mengandung itu mengerikan menurut Haechan, pemuda manisnya seakan-akan memiliki dua jiwa dalam satu tubuh. Renjun juga merasakan hal yang sama, Haechan seperti memiliki dua jiwa dalam satu tubuh.