꧑꧕ : lima belas

10 0 0
                                    


Rabu sore selepas jam pelajaran terakhir dibubarkan, Sadam langsung menuju ke belakang sekolah TK hanya untuk mendapati aliran sungai dangkal yang cukup keruh. Diseberang terdapat beberapa pohon pisang dan pohon jambu batu yang sedang tidak berbuah.

Disini, tempatnya mengobati rindu dengan kampung halaman.

Sadam suka tempat ini, sepi. Suasananya mirip sekali dengan tempat favorit dia biasa menghabiskan waktu di kampung. Bedanya, disini tidak ada tanah gersang luas yang beralih fungsi menjadi lapangan sepak bola.

Jika dikampung, dia dan teman-temannya sering mandi di sungai sambil menangkap ikan kemudian membakar hasil tangkapan di pinggir sungai beralaskan pohon pisang, mencuri pisang mentah untuk dibakar, dan selalu membawa alat penjernih air dari bahan alami hasil praktik sekolah untuk menjernihkan air sungai agar dapat mereka minum.

Persetan higienis atau tidak, kala itu mereka tidak berpikir sejauh sana. Yang hanya mereka utamakan adalah bagaimana cara mereka mencari kesenangan semata. Perut kenyang tanpa mengeluarkan uang.

Sadam selalu membicarakan tempat ini kepada Yahya bahkan memfoto dan memperlihatkan kepada sahabatnya itu. Namun, dari dulu selalu saja ada halangan ketika dia berniat mengajak Yahya menyambangi tempat ini.

Sampai sekarangpun, Yahya masih belum berhasil Sadam bawa kesini.

"Jadi makin rindu sama kampung," tersenyum kecil sambil melempar kerikil kedalam air sungai, lalu Sadam mengeluarkan kertas hasil ulangan bahasa inggris tadi siang.

Lagi-lagi dia tersenyum kecil, nilai bahasa inggrisnya tidak pernah ada peningkatan.

"Ekhm."

Refleks Sadam menoleh, sedikit mendongakkan kepala hanya untuk menatap Faranisa yang entah sejak kapan berdiri disebelahnya.

Gadis itu menyodorkan paper bag coklat tua bercorak batik kepada Sadam. "Jaket lo, makasih." Dia tidak berniat berlama-lama meminjam jaket cowok itu.

Sadam tersenyum. Alih-alih bertanya kenapa gadis itu bisa menemukannya di tempat ini, dia malah menepuk tanah disebelahnya mempersilahkan Faranisa untuk duduk.

Dan dengan alasan konyol dibenak Faranisa, dia menurut tanpa pikir panjang. Duduk bersila dengan paper bag yang dia letakkan diatas paha.

Faranisa jelas tahu arti senyum dengan sorot mata Sadam yang demikian. Cowok itu butuh teman cerita.

Iya. Faranisa lebih memahami Sadam lebih dari yang Sadam tahu. Dia mengenal Sadam lebih dari yang Sadam kira. Dia tahu segalanya.

Hanya diam, suara lirih arus sungai yang mendominasi diantara mereka. Sadam fokus dengan kertas ulangan yang sedang dia lipat menjadi perahu, sedangkan Faranisa memperhatikan gerak lipatan Sadam dengan pikiran yang melayang.

Faranisa ingin memutar waktu jika bisa, namun dia tahu itu tidak akan pernah terjadi. Dia ingin membenahi kesalahannya, menata ulang hidupnya.

Yang pada akhirnya dia hanya bisa menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan dimasa lalu. Sesal yang berkepanjangan.

"Far?"

Faranisa memgerjap, menatap wajah Sadam tepat pada netra cowok itu.

Sadam malah tersenyum kecil sambil mengangkat perahu kertas yang sudah selesai dia lipat, "lo bisa bikin kayak gini nggak?" Sambil menyodorkan haskarnya pada Faraniss.

Tanpa sadar gadis itu tertawa kecil, "bisa," jawabnya. Hanya perahu kertas. Bukankah semua orang juga bisa membuat mainan seperti itu?

Sadam ikut tertawa kecil bertepatan dengan guntur yang bergumuruh. Langit sedari tadi memang sudah mendung, tapi belum kunjung hujan.

Javanese BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang