꧐꧐ : prolog

292 26 1
                                    


Pagi ini matahari sedang berkuasa dengan terik yang sangat luar biasa, membuat kening dua remaja berseragam SMP yang berdiri di dekat gerbang sebuah SMA penuh peluh. Padahal jam baru menunjukkan 08.05, tetapi suhu udara sudah sepanas ini.

Atau, sepertinya kota-kota besar memang sepanas ini?

Matahari yang semakin terik tidak kunjung membuat Sadam dan Yahya beranjak dari tempat mereka berdiri. Tanpa keduanya sadari, beberapa orang yang melintas keluar masuk gerbang menatap mereka aneh.

Alasan yang membuat Sadam dan Yahya ditatap aneh oleh orang-orang mungkin karena kedua bocah itu sama-sama mengenakan setelan seragam osis SMP yang kemeja putihnya sudah sangat kusam.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan penampilan mereka. Kemeja yang sudah menguning adalah salah satu hal biasa dikalangan anak-anak sekolah.

Yang salah itu, tempat Sadam dan Yahya berdiri.

"Dam, kita nggak nyasar ke istana negara kan?"

"Matamu rabun?"

Yahya menggeleng.

"Itu lho dibaca, S-M-A HA-RA-PAN PER-TA-MA."

Yahya pernah menonton televisi di rumah dan dia masih ingat bagaimana bentuknya istana negara. Hanya saja, dia masih belum menyangka jika dia benar-benar akan menginjakkan kaki di sekolah mewah ini.

Dia menarik Sadam pelan untuk berjalan melewati gerbang yang tinggi menjulang. Gerbangnya saja sangat terlihat gerbang elit, pasti harganya mahal. Dia tidak bisa membayangkan berapa biaya uang gedung dan bulanan di sekolah ini.

Ah, nggak perlu membayangkan nanti yang ada pusing sendiri. Lagian dia sekolah disini gratis, ngapain mikirin biaya bulanan?

"Bismillah semoga aku karo Yayak lulus tes, aamiin." (dan)

"Aamiin," Yahya menimpali. Lalu dia menepuk bahu Sadam pelan, "Dam."

"Opo?"

"Dewe uwis neng Jakarta lho, ojo ngomong basa jawa maneh." (kita sudah di Jakarta lho, jangan ngomong bahasa jawa lagi)

"Lah emang kenapa? ingat kita tuh asalnya dari ja--"

Ucapan Sadam terpotong ketika seorang gadis beralmamater biru dongker menghampirinya dengan seulas senyum ramah.

"Permisi dek, kalian peserta tes jalur prestasi?"

Sadam terpengarah sebentar, memperhatikan gadis yang dia yakini adalah siswi disini. Penampilannya kalem tapi mewah, dan wajahnya glow up mampus. Sadam menatapnya selama beberapa saat.

Cantik.

Cantik banget.

"Iya kak," Yahya menjawab kaku.

Gadis tersebut tersenyum ramah, "silahkan ikuti saya."

Yahya mengangguk, beda dengan Sadam yang masih memperhatikan calon kakak kelasnya dengan tatapan kagum.

Maklum, disekolahnya dulu tidak ada cewek sebening itu.

"Sikapnya dijaga, jiwa kefakeboyanmu disimpen dulu tolong, Dam."

Sadam berdecak, "angel." (susah)

"Terserah, sing penting aku wes peringatin awakmu." (yang penting aku sudah peringatin kamu)

"Hmm."

"Was-was kalau sikapmu bakal bawa malapetaka."

"Heh, ati-ati ya ngomongnya!"

Dan dengan begitu saja, dengan cara yang konyol, sesederhana itu, ucapan Yahya terbukti benar. Sadam tertimpa masalah yang membuat penyesalan selalu menghantuinya. Masalah yang dia simpan seorang diri dan sesalkan sampai saat ini.









kritik dan saran dari para suhu sangat ditunggu.

Sabtu, 22 Mei 2021 | 06:52

Javanese BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang