Ara sedari tadi memperhatikan Nia. Wajah gadis itu terlihat pucat dan tidak seperti biasanya. Keringat terus mengalir di pelipisnya. Ara menduga pasti Nia mengkhawatirkan kondisi perutnya.
“Nia, kenapa wajah lo pucat?” tanya Ara khawatir.
“Tidak papa kok,” elak Nia mencoba tersenyum.
“Jujur atau hukum!” ancam Ara.
“Maksudnya?” Nia pura-pura tak mengerti.
“Jujur, Nia! Gue gak marah,” jelas Ara lembut.
“Apa sih, Ra... jujur apaan?” Nia tidak berani menatap Ara.
“Please! Teman-teman sudah tahu.” Ara terus mendesak Nia.
“Tahu apa, Ra? Gue gak paham.”
“Ck, masih gak mau ngaku.” Ara berdecak kesal karena Nia tidak mau mengaku. “Nia, Woy!"
Jangan-jangan Ara tahu lagi, mampus gue. Salah gue sendiri nurutin omongan cowok brengsek! batin Nia.
“Nia, gue temen lo, ‘kan?” ujar Ara menatap lekat mata Nia.
“Iya, Ra. Lo temen gue.” Nia mulai terisak. “Maafin gue.”
“Kenapa, Nia? Kenapa? Gue udah bilang berkali-kali sama lo. Gue gak nyangka! Gue bodoh. Sebagai teman, gue gak bisa lindungi temen gue sendiri. Gue bodoh! Gue bodoh!” Ara menampar pipinya sendiri.
“Ara, setop! Hentikan! Lo bisa terluka, Ara! Please... hentikan!” teriak Nia menghentikan aksi Ara yang masih memukuli dirinya sendiri.
“Ara... lo gak boleh nyakitin diri lo sendiri. Ini salah gue, Ara. Gue bodoh gak bisa jaga diri. Gue wanita hina, Ara!” Nia tidak sanggup melihat Ara, gadis yang menyalahkan dirinya sendiri karena kesalahan Nia.
“Ara... hentikan! Gu-gue yang sa-salah,” ucap Nia terbata-bata karena menangis.
“Tapi... please, Ra. Gue sedang hamil sekarang!” Nia mulai mengakui semuanya di depan Ara.
“Apa lo hamil, Nia?”
“Nia hamil.”
“Apa isi pikiran lo waktu itu, hah? Lo gila!”
“Ara, setop! Kalau enggak, gue loncat dari tangga. Setop, Ara! Gue gak main-main, gue bakal loncat sekarang!” Teriakan Nia tidak didengarkan oleh Ara. Mata Nia membola melihat memar di pipi Ara. Dialah penyebab semua ini. Andai waktu bisa diputar ulang, mungkin dia tidak akan melakukan perbuatan buruk tersebut.
Anak sungai mulai menggenang di kantong mata Nia, mengalir bebas dan membasahi pipinya. Sungguh ini menyakitkan. Dia yang melakukan kesalahan, mengapa harus Ara yang dihukum? Nia mengutuk dirinya sendiri dan segera berdiri. Nia memeluk Ara erat. Lihatlah, penampilan Ara sangat tidak beraturan; baju gamisnya sudah berantakan, tampilan matanya pun sembab dan memerah. Andai Nia tidak mengandung, pasti Ara sudah menghukum Nia karena tidak menuruti perkataannya.
“Gue gagal, Nia. Gue gagal ja-jadi teman….” Ara menundukkan kepalanya lemas.
“Enggak, Ara. Lo gak gagal, ini salah gue. Please... jangan lagi, gue sedang hamil, gue gak kuat lihat lo terluka.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love And Dream (Revisi)
RomanceSalahkah jika aku berharap untuk tetap hidup? Menggapai semua impian yang belum tercapai Haruskah aku berpura-pura kuat padahal rapuh. Ataukah suatu saat aku mendapat cinta dan sahabat yang menyayangiku mungkinkah aku masih ada?. Tinggalkan jejak! J...