👙Part 22👙

2.8K 142 3
                                    

Jangan lupa sajennya dulu dongggg wkwk

Happy reading👙

"Saf, bantuin gue potong sayurannya dong." Tiya berteriak pelan memanggil Safa untuk membantunya memasak.

Safa yang sedang melamun tersentak kaget karena teriakan Tiya. Sebelum menghampiri Tiya di kitchen set, Safa menghela napasnya panjang.

"Potongin ini aja?" tanya Safa seraya mengangkat sayuran berwarna hijau itu.

"Iya potong itu dulu."

Dengan kemampuan yang ia bisa, Safa memotong sayuran itu sesuai intruksi Tiya.

"Lo jadi jago masak, Ya?" tanya Safa.

"Kepaksa anjir. Kalo mertua gue gak maksa terus, ya gue gak akan bisa masak. Lo bayangin aja deh tiap hari gue disuruh belajar masak terus," curhat Tiya mengingat beberapa waktu lalu ketika Manda terus menerornya agar bisa memasak.

"Mami bawel banget?"

Belum sempat Tiya menjawab, suara milik Manda menginterupsi percakapan mereka.

"Apa nih bawa-bawa Mami? Lagi ngomongin Mami, ya?" Manda menghampiri kedua menantunya yang sedang menyiapkan sarapan.

"Dih kepedean banget, memang situ siapa?" cibir Tiya.

Wanita setengah baya itu mendelik sebal pada menantu dari putra bungsunya.

"Mulut kamu emang minta ditampol."

"Tampol pake duitlah."

"Kamu kalo nggak ikhlas bantu Mami, sana balik lagi ke kamar." Mendengar itu, Tiya langsung berhenti pada kegiatannya. Ia meletakan pisau di atas meja.

"Ini Mami yang nyuruh loh ya. Jangan salahin aku kalo aku masuk kamar."

"Tiyaaaaa," jerit Manda kesal. Menantunya yang satu ini benar-benar membuatnya emosi.

Melihat keributan kecil antara sahabat dan mertuanya, Safa hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Tidak habis pikir dengan keduanya. Tiya dan Manda bukan seperti menantu dan mertua, tapi lebih terlihat seperti rival.

"Kalo nggak inget kamu lagi hamil, udah Mami pukul kamu." Sepertinya Manda masih emosi. Yang Tiya lakukan hanya terkikik. Ia tahu, walau kesal tapi mertuanya itu perhatian. Meski mereka sering cekcok, namun itu malah mengeratkan hubungan keduanya.

"Loh, Tiya lagi hamil?" tanya Safa begitu mendengar kabar jika sahabatnya sedang berbadan dua.

Dilihatnya Tiya yang menyengir dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

Manda menolehkan kepalanya menatap Tiya. "Kamu nggak ngasih tahu teman-temanmu emang?"

Tiya menggeleng. Tak lama dari itu ia mendapat jeweran ringan dari mertuanya.

"Aw, sakit, Miiii."

"Parah emang kamu nggak ngabarin teman-teman kamu. Teman macam apa kamu ini?" omelnya.

"Aku lupa, Mi. Belum sempet ngasih tau mereka," bela Tiya seraya melepaskan jeweran Manda.

"Udah, Safa. Kamu nggak usah temenan lagi sama nih anak. Nggak guna."

"Mami ih!" kesal Tiya mencebikkan bibirnya.

Safa hanya terkikik geli melihat perdebatan itu. Kepusingannya tiga hari lalu menghilang begitu saja mendapati perdebatan Tiya dan Manda yang menurut Safa lucu. Ia merasa terhibur.

"Udah ah. Mami mau ke kamar dulu bangunin Papi. Safa, kalau masih ngantuk kamu ke kamar aja istirahat."

"Terus aku gimana?"

"Masak lah. Yakali mau tidur lagi."

"Mami pilih kasih banget," ucap Tiya pura-pura sedih.

"Safa kan baru sampe semalem, kasian."

Safa terkekeh. "Safa mau bantuin Tiya aja, Mi. Lagian di kamar juga mau apa, bosen."

"Kalau nggak mau, nggak usah ya. Biarin aja Tiya sendiri, kan dia cocok jadi babu." Setelah itu Manda pergi meninggalkan kedua menantunya.

Safa tergelak mendengarnya. Mertuanya itu benar-benar sadis. Apalagi melihat wajah kesal Tiya.

"Begitu tuh kelakuan mertua lo," ucap Tiya masih sibuk dengan kegiatan masaknya.

"Mertua lo juga kali."

"Ya deh mertua kita."

Lalu mereka saling terdiam, fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah lama juga mereka tidak bertemu.

"Udah berapa minggu, Ya?" tanya Safa memecah keheningan di antara mereka.

"Berapa ya? Lupa gue."

"Anjir, usia kandungan sendiri lo nggak tahu."

"Lupa, Saf. Waktu itu dokter bilang 12 minggu apa 10 gitu, gue lupa lagi."

"Udah gede dong, Ya. Kok lo baru ngeh hamil?"

Tiya menghentikan kegiatannya dan terdiam sejenak. "Gue kira gue nggak akan bisa punya anak lagi setelah kecelakaan itu dan bikin gue pendarahan hebat. Then, gue kehilangan anak gue."

Mendengar ucapan sahabatnya dan juga perubahan nada bicara Tiya, Safa menatap serius Tiya.

"Maksud lo?"

"Ya gue kehilangan anak pertama gue," jawab Tiya diikuti kekehannya.

"Lo kenapa nggak pernah bilang kalau lo ngalamin itu semua? Kenapa lo sembunyiin keadaam lo itu ke gue sama anak-anak?" cerca Safa merasa sedih dan ikut prihatin atas apa yang terjadi pada sahabatnya. Tapi ia merasa sedih karena Tiya tidak pernah bercerita apapun mengenai hal itu.

"Gue nggak mau bikin kalian kepikiran dan ngasihani gue."

"Kita udah kenal lama, Ya."

"Yeah, i know, Saf. Sebenernya gue lebih ke ngerasa takut sedih lagi kalo cerita ke kalian. Gue harus ceritain lagi moment menyedihkan itu ke kalian." Safa terdiam. "Udah ya, Saf. Jangan ungkit lagi. Dan gue minta lo jangan kasih tahu yang lainnya. Gue gak mau mereka juga ikut sedih."

Tiba-tiba saja Safa memeluk Tiya. Gadis itu sudah meneteskan air matanya.

"Gue nggak tahu kalo lo ngalamin hal menyakitkan itu, Ya. Gue kira-"

"Diem ah gausah nangis. Lo tuh ya cengeng banget sih. Yang kehilangan tuh gue, bukan lo. Jadi diem," ucap Tiya seraya memelototkan matanya yang membuat Safa mencebikkan bibirnya.

Padahal kan ia mellow gara-gara cerita Tiya.

Lalu mereka kembali sibuk dengan kegiatannya.

Tanpa Safa sadari, Tiya meneteskan air matanya dengan tangan yang memegang pisau erat; menahan tangisnya agar tak keluar. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kesedihannya yang sudah lama berlalu.

Tbc👙

Tiya-Manda dan segala keributannya memang sangat sulit dilepaskan wkwkwk

Ayok komennya mana komennyaaaaaa

Babaiii smpai jumpa di part selanjutnya😘

-Queen

Safa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang