Bismillah
✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾
Yazid membuka matanya perlahan, mengedipkannya beberapa kali. Setelah terbuka sempurna, dia menatap langit-langit ruangan serba putih dan menebak dimana dirinya berada sekarang, serta mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum dia berada di sini.
Dengan kepala yang terasa berat, Yazid berusaha bangun dari tempatnya tapi tidak bisa. Lengannya terasa sakit ketika digerakkan. Laki-laki yang memakai pakaian khas pasien itu merebahkan tubuhnya kembali.
"Astagfirullah ...," lirihnya menghela napas berat. Kini dia baru ingat peristiwa nahas yang menimpanya. Kecelakaan itu yang membawanya ke tempat ini.
"Kamu sudah sadar, Nak?" Yulia yang baru datang dengan plastik besar di tangannya bergegas ke arah Yazid. Dia meletakkan plastik itu di atas nakas dan keluar memanggil dokter. Tak berselang lama, Yulia sudah kembali dengan beberapa dokter yang menanganinya tadi, tidak terkecuali Alika.
Yazid sedikit terkejut melihat perempuan yang berjalan di belakang Yulia. Namun keterkejutan itu segera dihilangkan, karena suaranya tertahan untuk sekedar menanyakan kenapa perempuan itu ada di sini. Pakaian yang dikenakan Alika sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Laki-laki itu hanya pasrah saat Fathur memeriksa kondisinya. Dengan tersenyum, Fathur memberi tahu Yulia bahwa keadaan Yazid sudah lebih baik.
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Dok."
"Sama-sama, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu." Fathur dan seorang temannya keluar setelah memberikan obat kepada Yulia. Sedangkan Alika, wanita itu masih mematung di tempatnya.
"Ada yang masih sakit nggak?" tanya Alika dengan suara terpaksa. Pertanyaan itu terlontar setelah susah payah dikeluarkan.
"Aku nggak apa-apa. Makasih udah dibawa ke sini," balas Yazid mencoba tersenyum. Otaknya baru mengingat wajah seseorang yang menolongnya waktu itu, dan itu adalah perempuan yang sedang berdiri di sampingnya.
Alika mengangguk dan membalas senyuman itu. "Sama-sama."
Yazid mengalihkan pandangannya ke arah Yulia. Dari sudut matanya, Yazid bisa membaca kekhawatiran yang ada di sana. "Maaf udah buat Bunda khawatir."
Yulia mengelus pipi putranya kemudian duduk. "Nggak usah minta maaf, Nak. Ini bukan salah kamu, ini musibah. Jadikan pelajaran agar tidak terulang lagi," nasehat Yulia.
"Aira mana Bun?" tanya Yazid belum melihat gadis itu sampai sekarang. Dia merasa bersalah pada istrinya itu. Kalau saja dia mendengar Humaira untuk berhati-hati, mungkin peristiwa ini tidak ada terjadi.
Sebelum pertanyaannya dijawab, Alika meminta izin untuk keluar. Dua orang yang masih di ruangan itu mengangguk cepat.
"Tadi Maira ke sini sama Bunda, tapi dia izin pergi karena harus kuliah," jelas Yulia mengambil makanan di atas nakas. "Makan dulu, Nak."
Sebelum mengiyakan perintah bundanya, Yazid meraih handphone dengan tangan kirinya, membuka layar dan melihat belasan panggilan tak terjawab di sana. Yazid menghela napasnya berat. Nafsu makannya semakin berkurang setelah melihat panggilan yang tidak dia jawab. Humaira pasti sangat mengkhawatirkannya.
"Bun, aku mau pergi sekarang. Boleh ya?"
Yulia mengerutkan keningnya mendengar permintaan Yazid. Dia meletakkan kembali makanan itu, karena Yazid belum mau makan.
"Kamu mau kemana?"
"Ke kampus."
"Dengan keadaan seperti ini? Bunda nggak bolehin," tolak Yulia dengan wajah serius. "Tadi Bunda udah kabari Haidar, biar meetingnya ditunda dulu. Pulihin dulu kondisinya, baru Bunda izinin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surgaku Kamu [TERBIT]
Teen Fiction"Sungguh menyenangkan bukan, ketika melihat orang lain bahagia? Namun jika kebahagiaanmu yang harus dikorbankan, bagaimana?" ... Tentang Humaira, gadis yang terpaksa dikuatkan oleh keadaan yang selalu menuntutnya untuk ikhlas. Kehilangan demi kehila...