Part 17 : Anak Tetangga

544 54 0
                                    

Bismillah

✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾

Nuansa pagi ini sedikit berbeda dengan hari sebelumnya. Selain cuacanya yang sejuk akibat hujan kemarin malam, pekerjaan yang biasanya wajib selesai pukul sembilan pagi kini bisa terselesaikan lebih cepat. Humaira yang biasanya harus mandi dua kali karena gerah habis beres-beres rumah, tidak perlu lagi melakukan hal itu. Karena sebagian pekerjaan rumah sudah diselesaikan oleh Zahrah, asisten rumah tangga mereka.

Dengan permintaan Humaira, Zahrah hanya bekerja paruh waktu di rumahnya, yaitu sampai pukul tiga sore. Sisanya, Humaira yang mengerjakan. Keinginan itu sempat ditolak oleh suaminya, tapi bukan Humaira jika tidak mencari alasan agar keinginannya terwujud. Dia melakukan hal itu agar Zahrah bisa meluangkan waktu untuk keluarganya, serta mempersiapkan acara lamaran yang mungkin dilaksanakan sebentar lagi.

Namun, sepertinya hari ini gadis itu harus melakukan semua pekerjaan rumah lebih banyak dari hari kemarin. Tadi Zahrah meminta izin untuk pulang lebih awal hari ini karena ada acara keluarganya di kampung. Kalau tidak ada kuliah, mungkin gadis itu sudah meminta izin suaminya untuk ikut Zahrah.

"Capek banget. Padahal cuma ngepel doang," keluh Humaira merebahkan tubuhnya ke sofa. Meskipun melakukan kegiatan ringan, Humaira sudah merasa kelelahan, rasanya seperti habis lari maraton.

Ketika rasa lelahnya sudah berkurang, gadis itu beranjak dari tempatnya menuju kotak obat, mengambil selembar obat dan membawanya ke meja makan. Humaira mengamati sebutir obat merah itu, kemudian menelannya.

"Tinggal tiga, besok aku minta Kak Yazid beliin bisa nggak ya?" Humaira berbicara dengan dirinya sendiri. Matanya meliar ke sembarang arah, mengamati sudut rumah yang terasa sepi karena Yazid sedang pergi.

Laki-laki itu sangat berniat untuk datang ke kampus, padahal perban di kepalanya belum dilepas hanya dengan alasan ada tanggung jawab yang harus dia penuhi. Humaira sudah berusaha keras untuk membujuk, tapi usahanya sia-sia. Meskipun begitu, Humaira tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok itu.

"Tanggung jawab itu wajib dilaksanakan, Aira. Bagaimanapun keadaannya, apapun resikonya. Karena itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak."

Humaira tersenyum sendiri ketika mengingat ucapan Yazid ketika membujuknya untuk tetap istirahat di rumah. Meski sempat ingin memarahi takdir yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya, tapi jauh dalam hati Humaira mensyukuri dan berusaha menerima apa dan siapa yang sudah bersamanya saat ini.

"Assalamu'alaikum. Aira!" panggil seseorang dari depan sambil mengetuk pintu.

Gadis itu tersadar dari pikirannya. Tanpa membuat orang lain menunggu lama, Humaira mempercepat langkahnya untuk membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam. Mbak Ghina?" Keningnya mengerut melihat wanita yang enam tahun lebih tua darinya tengah tersenyum dengan bayi yang ada di gendongannya. "Ada apa Mbak?"

"Kamu lagi sibuk nggak, Mai?"

"Alhamdulillah, nggak Mbak. Kenapa?"

"Mbak titip Zaqia boleh?"

Humaira menoleh ke arah bayi mungil itu.

"Mbak mau pergi arisan sama Mas Reza, tapi Mbak nggak bisa bawa Zaqia karena pakai motor dan perjalanannya jauh. Mbak khawatir nanti Qia masuk angin."

Surgaku Kamu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang