Part 20 : Arfan Al-Ghafiqi?

477 50 0
                                    

Bismillah

✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾

"Kok bisa tahu kalau anak dari bapak tadi suka martabak manis?" tanya Yazid yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Beruntungnya, Humaira tidak terkejut meskipun sebelumnya dia tengah melamunkan sesuatu.

"Ya, karena aku juga suka martabak manis, dan semua orang pasti suka yang manis-manis," balasnya tertawa kecil. Padahal dia asal menebak saja tadi agar bapak itu tidak menolak pemberiannya.

Humaira paham, apapun yang diberikan oleh seorang ayah, akan sangat berarti bagi keluarganya. Karena sejak kecil, papanya selalu membawakan sesuatu ketika pulang kerja, entah itu boneka atau sebutir permen sekalipun. Dan dia sangat senang mendapat hal seperti itu.

Gadis itu yakin, keluarga bapak tadi juga akan merasakan hal yang sama. Beralih dari bayangan bapak penjual manisan tadi, Humaira mengangkat tujuh bungkus gulali yang ada di tangannya kemudian tersenyum lebar.

"Yakin mau habisin semuanya?" tebak Yazid mengangkat alisnya sebelah.

"Yang bilang kalau aku makan semuanya siapa, Kak? Nanti gigiku berlubang kalau makan manis berlebihan," canda Humaira menampilkan senyum manisnya. Sikapnya selalu berhasil membuat Yazid gemas. Maka jangan salahkan Yazid kalau kepala dan pipinya akan menjadi korban usapan tangannya.

"Lagian, aku nggak terlalu suka gulali."

Yazid mengernyitkan dahinya, bingung. "Kalau nggak suka, kenapa dibeli?"

Gadis itu menghela napasnya panjang. Dia mendudukkan tubuhnya di bangku kayu yang kebetulan ada di sana. Yazid juga melakukan hal yang sama.

"Aku cuma mau bantu aja, Kak. Mungkin bapak tadi menjajakan dagangannya dari pagi sampai jam selarut ini, dan mungkin perutnya masih kosong. Tapi demi keluarga, dia rela menahan sengatan matahari dan dinginnya malam, dan biasanya pedagang seperti mereka nggak akan pulang sebelum dagangannya habis," desah Humaira memandang benda di tangannya. "Pasti keluarganya sedang menunggu beliau pulang."

Yazid dibuat takjub dengan ucapan Humaira tadi. Ternyata, dibalik sikap kekanak-kanakannya, gadis itu sudah tumbuh dewasa. "Baik banget sih istriku ini," balasnya mengelus rambut Humaira yang tertutup hijab.

"Terus itu mau dikemanain?"

Humaira tidak menjawab. Mata gadis itu meliar ke sembarang arah dan tertahan di ujung jalan yang berdekatan dengan masjid. Di sana, terlihat beberapa anak kecil yang sedang berjalan dengan sebuah buku di tangannya. Dari pakaian yang mereka kenakan, Humaira menyimpulkan kalau anak-anak itu baru pulang dari masjid, entah ada pengajian atau apa, Humaira tidak tahu pasti.

"Tunggu sebentar, Kak." Humaira melangkahkan kakinya ke tempat anak-anak tadi. Sedangkan Yazid hanya memperhatikan dari tempatnya tadi. Senyumnya mengembang melihat apa yang dilakukan gadis itu.

"Nggak sia-sia aku nunggu kamu lama, Aira," gumam Yazid masih memfokuskan pandangannya.

"Alhamdulillah, giginya nggak jadi berlubang Kak," beo Humaira yang sudah tiba di tempatnya tadi. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Dia lantas mendudukkan dirinya di dekat Yazid.

"Ternyata, berbagi itu menyenangkan juga ya, Kak. Bukannya malah berkurang, kebahagiaan yang kita dapatkan justru jauh lebih besar." Humaira menghela napasnya lega sembari memandang langit yang bersih tanpa awan. "Ternyata, bahagia itu sederhana ya, Kak. Hanya dengan memberi sebungkus gula kapas, aku bisa merasakan ketenangan hati, kedamaian jiwa, rasa syukur serta berbagai perasaan lainnya."

Surgaku Kamu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang