Hujan, Mie Instan, dan Ojek Payung

95 11 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya kawan :D

***

Bar Violin merupakan salah satu bangunan yang hampir tidak pernah sepi yang terletak di salah satu sudut Kota Surabaya. Bar yang sudah hampir 20 tahun berdiri itu terus menunjukkan eksistensinya yang entah sampai kapan terus ada. Bar ini sengaja didesain ala bar Amerika, lengkap dengan nuansa lampu yang minim dan temaram, beberapa dekorasi yang sangat artistik dengan adanya poster-poster unik yang berhubungan dengan musik atau statement decoration yang keren, dan tak lupa meja serta kursi yang digunakan juga begitu klasik. Belum lagi terdapat ruangan VIP yang cukup tenang, sehingga banyak orang-orang yang menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk berkumpul bersama teman-teman atau sekadar bersantai.

Dari banyaknya orang yang menjadikan bar Violin sebagai tempat favorit, salah satunya ialah Kainan. Malam di pertengahan bulan Desember itu Kainan mengajak dua orang temannya yang lain, yaitu Chandra dan Sean untuk berkumpul di bar tersebut.

"Anjir cok, lo tiga tahun di Berlin pulang-pulang jadi guru SMA, ngakak banget gue cok." Chandra memegangi perutnya yang terasa kram, untung saja ia tidak menyemburkan minumannya setelah mendengar cerita dari Kainan mengenai alasan laki-laki itu pulang ke Indonesia.

"Sementara." Jawab Kainan singkat, tapi ada nada tertawa di ujung ucapannya.

"Emang gini kalau udah jadi bulol, apa aja dilakuin biar bisa ketemu."

"Bulol? Apaan tuh?"

"Bucin tolol." Jelas Sean yang kemudian tertawa terbahak-bahak bersama Chandra.

"Di dunia ini ada yang namanya effort, yang mana effort sendiri merupakan salah satu bukti bahwa gue punya usaha lebih."

"Liat temen lo, Chan! Emang udah cocok jadi guru SMA dia." Ucap Sean sembari menunjuk Kainan yang kemudian mendapatkan decakan sebal dari laki-laki itu.

"Eh Nan, gue tanya. Kalau lo ada di sini terus yang ngurus perusahaan Papa lo yang ada di sini siapa? Cabang perusahaan Papa lo yang ada di Surabaya kan banyak." Tanya Sean yang kemudian ditimpali oleh Chandra.

"Tauk tuh, mending Pak Chandika jadiin gue anaknya aja deh daripada punya anak tiga enggak ada yang mau semua ngurus perusahaannya."

"Papa gue yang enggak mau nerima lo jadi anaknya." Jawab Kainan yang langsung mendapatkan lemparan bulatan kertas dari Chandra.

"Lo tenang aja, Mas Regan mau kok jadi yang ngurus perusahaan." Lanjut Kainan santai.

"Udah si sulung terpaksa nerusin usaha Bapaknya, eh ini si tengah ikut nambahin bebannya si sulung. Duh, kasihan banget si Mas Regan." Ucap Chandra dengan wajah mengejek ke arah Kainan.

"Ya bukan gue kasih ke Mas Regan sepenuhnya juga, nanti tiap hari kamis sampai sabtu gue juga ke kantor. Jadi ya waktu ngajar gue cuma dari hari senin sampai rabu aja." Jelas Kainan yang mendapatkan anggukan kepala dari Sean dan Chandra.

"Nan, kalau aja ya ini, tapi ya semoga enggak. Kalau aja di Keisha ternyata enggak jadi guru di sana terus apa yang mau lo lakuin?" Kainan terdiam, mencoba memikirkan pertanyaan dari Sean. Benar juga, kalau seandainya ternyata Keisha tidak ada di sana, lalu apa yang akan Kainan lakukan?

Kainan masih terdiam sembari memainkan ujung gelas minumannya, kemudian jari telunjuknya yang memutari ujung gelas itu berhenti di putaran yang ketiga. Kainan menghirup dan menghela napas perlahan, ia kemudian menatap Sean dan Chandra dengan mantab.

"Gue akan tetap mencoba untuk mencarinya, sampai gue bisa tahu Keisha di mana."

Dan kemudian ketiganya terdiam, membiarkan musik klasik tahun 90-an yang diputar oleh pelayan bar mengambil alih ruang pendengaran mereka. Sean dan Chandra sudah tidak tahu lagi harus menimpali jawaban Kainan dengan apa selain diam. Tiap kata yang dilontarkan oleh Kainan tadi sudah membuktikan bahwa ucapan laki-laki itu tidak pernah main-main.

Melodi HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang