Selamat Ulang Tahun

14 3 0
                                    

Haiii selamat malam semuanya. Huhuhu rasanya sedih ya lihat vote cerita ini semakin turun. Ayo dong di vote dan komen cerita ini biar aku semangat terus updatenya hihihihi... 

Selamat membaca ya!

***

Entah sudah berapa tahun lamanya udara di dalam rumah Jevan terasa begitu dingin. Setiap sudut rumah bak penjara kesepian yang mengurung siapa saja yang ada di dalamnya. Seperti yang dirasakan Jevan saat ini, saat sol sepatu kets hitamnya menyentuh lantai marmer coklat dan suara debuman pintu yang baru saja ditutup, ia langsung disergap oleh keheningan begitu saja. Harusnya saat ini Jevan merasa hatinya merasa lega kala ia berhasil selamat sampai rumahnya, tetapi sepertinya rasa itu menguap begitu saja saat pandangan matanya langsung bertubrukan dengan tatapan sosok yang selama ini selalu ia panggil dengan sebutan 'Papa' yang saat ini sedang duduk di kursi 'kebesarannya' di ruang tamu.

Jevan mungkin pernah begitu ketakutan dengan tatapan mata itu –dulu saat ia masih kecil—, tetapi sekarang ketakutan tersebut sudah hilang dan tergantikan oleh rasa muak dan kesal yang begitu dalam. Tanpa berniat menyapa, Jevan melangkahkan begitu saja kakinya melewati Papahnya, tidak peduli bahwa tatapan mata sang Papa semakin menajam seakan siap untuk menerkamnya hidup-hidup.

"Pulang malam lagi, hm?" Jevan menghentikan langkahnya kala suara berat itu mengudara. Ia memutar tubuhnya dan mengangguk singkat tanpa berniat menjawab.

"Kamu itu sudah suka membangkang dan sekarang kesopanan kamu sudah ikut hilang juga, ha?" Jevan sudah bersiap untuk membalikkan badannya, tetapi sebelum itu ia menarik nafas dalam-dalam dahulu.

"Ngaku ke Papah, main kemana lagi kamu kok sekarang baru pulang? Merasa keren sudah suka bolos les?" Mulut Jevan sudah siap menjawab, tetapi lagi-lagi seperti dugaannya, ucapannya akan dipotong dengan seenaknya sendiri oleh orang di depannya saat ini.

"Mau alasan apa lagi kamu? Kamu harus tahu bahwa uang yang Papa keluarkan buat les privat kamu itu jumlahnya tidak sedikit. Minimal kamu ini harus sadar diri kalau Papa masih peduli sama kamu." Hati Jevan tiba-tiba memanas, rasanya ia tidak terima mendengar tiap kata yang diucapkan Papanya.

"Minimal juga Papa harus bisa melupakan masa lalu dan menerima apa yang terjadi sama Papa sekarang." Ucap Jevan dengan kesal.

"Berani ngelawan Papa sekarang?" Papa Jevan menaikkan nada suaranya.

"Kenapa? Papa merasa tertampar dengan fakta itu?" Demi apapun, belum pernah Jevan berkata sekurang ajar itu kepada sang Papa, tetapi rasa muak, lelah, dan kesal yang bercampur menjadi satu membuat Jevan berani melontarkan kata-kata tersebut.

"Kurang ajar kamu, Jevan! Kamu mau ikut-ikutan seperti Mama kamu yang membangkang itu?"

"Pa, aku memang darah daging Mama, tetapi bukan berarti Papa selalu menyamakan aku dengan Mama. Aku muak sama Papa yang selalu bilang sifatku hampir sama dengan Mama. Aku muak, Pa! Aku muak jadi anak Papa." PLAK!!!

Sesaat Jevan terdiam kala rasa panas tiba-tiba muncul pada pipi sebelah kanannya, ia menatap pelan ke arah tangan sang Papa yang baru saja menamparnya, kini sakit yang Jevan rasanya menjadi dua kali lipat dari sebelumnya.

"Kamu bilang kamu muak jadi anak Papa?" Wajah serta mata Papa Jevan memerah, menunjukkan kemarahan yang begitu besar pada Jevan.

"Bilang sekali lagi Jevan! Ayo!" Jevan langsung menutup matanya kala teriakan itu tepat di depan wajahnya.

"Kamu bilang kamu muak jadi anak Papa, sementara selama ini Papa yang selalu merawat kamu bahkan saat Mama kamu meninggalkan kamu dan memilih bersama laki-laki selingkuhannya itu?"

Melodi HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang