Dalam sepetak kamar kos berukuran tiga kali empat merupakan tempat Ivanka bernaung dan berteduh dari kejamnya dunia luar. Jika orang lain bilang, kos adalah rumah kedua, maka Ivanka akan bilang, kos adalah rumahnya. Tempat ia merasa aman dan nyaman. Tempat ia menumpahkan segala apa yang ia tahan. Tempat ia menunjukkan kesakitannya.
Ivanka tak ingin menyebut tempat ia tinggal dari kecil hingga beranjak dewasa itu dengan rumah. Terlalu menyeramkan. Di sana, bangunan berlantai dua dengan segala fasilitasnya merupakan sepetak tempat yang berisi manusia egois dengan ambisi yang tak masuk di akal. Tempat di mana membentuk pribadi Ivanka yang menyedihkan. Tak ada kehangatan dan kebahagiaan di sana. Hanya ada suara-suara nyaring dan teriakan manusia yang berlomba ingin menang dalam ajang tanpa penghargaan itu.
Ia memilih menepi dan menjadi asing. Dengan begini, ia bisa merasakan kebebasan, meski bahagia tak bisa direngkuhnya. Sekarang ia hanya menjalani hidup tanpa tujuan jelas sampai menuju ajalnya nanti. Dia hanya mengikuti alur yang sudah ditetapkan. Ia tak mengharap bahagia apalagi surga. Ia merasa tak pantas.
Ivanka kini sedang tengkurap di kasurnya sembari menonton acara komedi di layar laptop. Tawa menggema ke sudut ruangan. Ia tertawa, tapi tidak hatinya. Tatapannya kosong. Tawanya tak berhenti, tapi semakin lama semakin melemah dan diganti dengan suara isakan dibarengi air mata yang tak mampu dibendung. Dengan begini ia merasa puas. Cukup begini saja, tanpa mendengar omongan orang tentang dirinya. Tanpa perlu menebalkan muka.
"Lucu." Ivanka berkata dengan nada getir. "Kalau nggak begini, gue nggak akan pernah tertawa lepas begini."
Ivanka menekan dadanya yang sesak. Dia tak punya tempat berbagi selain pada ruang hampa dan kesendirian. Dalam ingatannya tak pernah ia merasa pernah bahagia. Bahkan, sedari kecil ia ditekan.
Ponsel Ivanka berbunyi nyaring. Sekarang masih pukul enam pagi dan entah siapa sudah mengganggunya. Ivanka mengusap air matanya, lalu ia raih ponselnya.
Sempat ragu untuk mengangkat, tapi pada akhirnya ia angkat. Siapa tahu, dia akan ditumbalkan lagi di akhir pekan seperti ini.
Ivanka menempelkan ponsel ke telinganya. Tak ada suara sapaan masuk dan Ivanka juga tak berminat menyapa terlebih dahulu. Sama-sama menunggu salah satu bersuara yang entah akan berakhir sampai kapan.
Setelah hampir satu menit telepon tersambung, suara lelaki di menyapa terlebih dahulu. "Ivanka?"
"Ya?"
Hening kembali untuk beberapa saat. Ivanka masih sabar menunggu apa kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki yang terkenal pendiam itu. Dia tak akan beramah tamah untuk memulai basa-basi.
"Lo sibuk?"
"Kenapa?"
Suara helaan napas terdengar. "Kerja."
Ivanka terkekeh. "Projek baru? Apa? Gue nggak ngerasa pernah ngerjain."
"JadiLaku. Disuruh anak produksi, kita ngarahin atau ngawasin."
"Lo sibuk?"
"Nggak. Sama lo."
Ivanka paham. Maksud dari Tara, seseorang yang meneleponnya adalah mengajaknya. "Oke."
Panggilan diputus begitu saja tanpa ada salam perpisahan sekadar basa-basi. Ivanka tak merasa tersinggung sama sekali. Sudah biasa dan dia juga malas berbasa-basi.
Ivanka menepuk dahinya. Ia lupa bertanya pukul berapa dan di mana tempat untuk proses pengambilan video iklan. Dengan cepat ia membuka kolom pesan dengan Tara.
_______________________________________________
Rega Anantara_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Alur [Completed]
ChickLitCompleted Pernah menjadi selingkuhan dan disalahkan, tapi dia tidak mengetahui apapun. Rasa bersalah selalu menghantuinya, padahal dia tidak salah. Dia yang dikenal sebagai pengganggu. Ivanka Herasya. Mungkin kebahagiaan tidak pernah mau singgah ber...