Ivanka merasa ada yang aneh dengan tatapan karyawan di kantor tempat ia bekerja. Sejak ia datang, tampaknya menjadi pusat perhatian orang-orang di sana. Dia sering mendapat cibiran, tapi tak sampai hampir seluruh karyawan peduli padanya seperti sekarang.
Ivanka berusaha bersikap masa bodoh. Anggap saja hanya angin lalu. Dia sudah biasa mengabaikan cibiran yang ia dapatkan. Untuk apa sekarang ia harus peduli? Tak ada gunanya.
Perempuan itu, berjalan menuju pintu lift yang akan membawanya menuju lantai di mana tempat ia bekerja. Di dalam lift ada beberapa karyawan di dalamnya. Ivanka masuk dan tatapan kembali mengarah padanya.
Ia mendengar ada yang berbisik pada temannya. "Itu bukan sih? Dari bentuk rambut sama badannya kayaknya iya deh. Di grup gosip juga kayaknya dia calonnya Kafi."
Ivanka terdiam sambil mendengarkan sahutan dari teman perempuan yang sedang berbicara. "Iya kayaknya. Anak-anak kreatif juga konfirmasi kok, kalau foto di akun gosip itu kayaknya si Ivanka itu. Baju yang dipakai hari itu sama persis."
"Dih, padahal biasa aja sih. Nggak cantik-cantik amat, mana Kafi tadi juga post foto tangan si cewek pakai cincin," ucap perempuan yang kini menatap Ivanka terang-terangan.
Ivanka menghela napasnya. Ternyata hanya karena gosip itu. Sebenarnya, sejak diberi tahu Kafi tentang mereka yang masuk akun gosip dengan foto amatiran, pasti teman kantornya akan mengetahui dan ia sudah menyiapkan diri. Berhubungan dengan Kafi memang sudah menjadi risikonya seperti ini. Dia sudah menerima hal itu.
Ivanka merasa gerah. Baru karyawan beda divisi yang tak terlalu ia kenal saja seperti ini, bagaimana nanti tanggapan manusia-manusia penghuni ruangan yang sama dengan dirinya? Pasti akan membuatnya harus menyiapkan diri lebih lagi. Ucapan orang-orang di sana lebih kejam dari ucapan orang-orang ini.
Ivanka bahkan sudah bisa menebak seperti apa yang akan dilontarkan mulut-mulut sampah mereka. Ivanka lelah harus terus mencoba menahan semua ini.
Sampai di lantai tujuannya, pintu lift terbuka. Ivanka segera keluar dari kotak besi sempit itu. Saat berjalan melewati lorong, ponsel di saku celananya bergetar. Ivanka menepi dan mengambil ponselnya.
Nama Rayana langsung membuat Ivanka mengerutkan keningnya. Tumben sekali kakaknya itu menelepon dirinya. Dia bahkan sudah lupa memiliki seorang kakak.
Karena penasaran, ia menggeser tombol hijau di layar dan menempelkan ponsel di telinganya. "Halo. Ada apa?"
"Yang di akun gosip itu kamu?"
"Kenapa?" tanya Ivanka yang heran pada kakaknya.
"Kamu sama Kafi? Bukan sama anak Tyo Wigani?"
Ivanka menghela napasnya. "Urusan pribadiku, bukan urusan Kakak." Ivanka menjeda kalimatnya. "Lagian, Kakak mending urusin keluarga Kakak sendiri deh. Gimana rasanya nikah sama pengusaha?"
Suara geraman di seberang membuat Ivanka terkekeh. Ia tahu, kakaknya tak sepenuhnya bahagia dengan pilihan orang tuanya. Meski tak dekat, tapi mereka memang saling mengawasi satu sama lain.
"Tahu apa kamu?"
"Tahu banyak. Kakak yang mutusin Rayno karena dipaksa nikah sama, aduh, siapa sih nama kakak iparku?" cibir Ivanka yang membuat Rayana geram.
"Kamu tahu? Aku nggak bisa nolak permintaan Papa dan Mama, Van. Aku bukan kamu yang senang berontak!" Seru Raya dengan tegas.
"Dan mengorbankan kebahagiaan, serta dua hati dibiarkan patah. Malang sekali," ledek Ivanka. "Kalau aku jadi Kakak, udah kabur sekalian."
"Sayangnya aku bukan kamu." ucap Raya dengan nada rendah. "Kamu tahu, nasib kamu akan sama denganku."
"Nggak akan." Ivanka tersenyum culas. "Aku punya hidup sendiri, kalau mereka masih maksain kehendaknya, maka aku akan kabur dari mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Alur [Completed]
Literatura FemininaCompleted Pernah menjadi selingkuhan dan disalahkan, tapi dia tidak mengetahui apapun. Rasa bersalah selalu menghantuinya, padahal dia tidak salah. Dia yang dikenal sebagai pengganggu. Ivanka Herasya. Mungkin kebahagiaan tidak pernah mau singgah ber...