Ivanka memandangi power bank yang ada di tangannya. Dia merasa heran, kenapa barang itu ada di dalam tasnya? Ia masih sangat mengingat, Kafi meminjam dan belum dikembalikan lelaki itu.
"Dilihat mulu. Ada apa, Mbak?" Suara dari seorang lelaki yang sedang Ivanka pikirkan membuyarkan lamunannya.
Ivanka menoleh. "Sejak kapan kamu di sini?"
Lelaki itu melemparkan senyum andalannya. "Dari lima belas menit lalu, ngelihat Mbak Ivanka terus natap ke arah power bank terus." Kafi terkekeh. "Kenapa dilihat terus, Mbak?"
"Kamu pernah pinjam power bank saya?" tanya Ivanka dengan bingung. Lelaki itu mengangguk. "Kapan kamu ngembaliinnya?"
Kafi mengerutkan keningnya. "Saya kembaliin langsung."
"Nggak kebawa sama kamu?"
Kafi menggeleng. Ivanka mengerutkan keningnya. Sebenarnya ada apa? Kenapa dia merasa Kafi sempat membawanya?
"Bukannya kamu bawa pulang?"
"Ya?" Kafi bingung dengan pertanyaan Ivanka. "Saya waktu itu langsung kembaliin dan nggak kebawa pulang kok."
"Bukannya kamu sama teman kamu ...." Ivanka menggantung kalimatnya. Ia menggeleng.
Ia tertawa miris. Dia sadar sesuatu. Seketika ia terbahak keras. Bodoh. Ivanka bodoh. Hidupnya tak sempurna. Hidupnya penuh kecacatan. Ivanka harus sadar diri.
Kafi menatap Ivanka dengan tatapan bingung. Apa yang wanita itu tertawakan? Apa ada hal lucu? Tapi, tawa wanita itu terdengar miris.
Kafi merasa khawatir. "Kamu kenapa?"
Ivanka menggeleng cepat. Ia menatap Kafi sejenak, lalu kembali tertawa. Tanpa banyak berkata, Ivanka langsung beranjak pergi meninggalkan Kafi yang menatap wanita itu penuh tanya. Ingin mengejar, tapi dia takut.
Ivanka berjalan cepat tanpa tujuan. Dia hanya ingin menyendiri dan menertawakan dirinya, kebodohannya. Sampai di ruangannya. Sepi, karena hari ini akhir pekan. Ia memilih melamun di dalam kubikelnya.
Ivanka lelah dengan kehidupannya. Kehidupan yang jauh dari kata sempurna. Kehidupan menyakitkan. Tak bisa membedakan mana yang benar dan salah.
"Lo mau balik?" tanya seseorang yang memang sudah ada di dalam ruangan sejak tadi tanpa disadari oleh Ivanka.
Ivanka menatap ke arah sumber suara. Lelaki tinggi dengan perawakan tinggi yang hampir setiap hari dia temui saat bekerja. "Emang boleh?"
Lelaki itu mengangguk. "Balik aja! Udah nggak banyak kepentingan kita sih."
"Tapi belum selesai."
"Biar gue yang stay, kecuali kalau lo masih mau mandangi artis tadi," ucap lelaki itu sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Tumben lo baik?"
"Gue pernah jahat?"
Ivanka sontak menggeleng. Tara tak pernah berbuat jahat padanya. Lelaki itu hanya diam, tapi ia merasa ada yabg berbeda dengan Tara. Lelaki itu tampak peduli.
"Lo nggak biasanya peduli sama orang lain."
Lelaki itu mengembuskan napasnya. "Gue miris dan kasihan lihat lo."
Ivanka mengerjapkan matanya, lalu terbahak. Kasihan, hidupnya memang perlu dikasihani. Ah, baru kali ini ada yang kasihan padanya. Biasanya mereka memilih membicarakan Ivanka.
"Thanks. Dalam hidup gue, gue belum pernah merasa dikasihani. Lo orang pertama," ucap Ivanka sembari melempar senyum tulus yang baru kali ini ia perlihatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Alur [Completed]
ChickLitCompleted Pernah menjadi selingkuhan dan disalahkan, tapi dia tidak mengetahui apapun. Rasa bersalah selalu menghantuinya, padahal dia tidak salah. Dia yang dikenal sebagai pengganggu. Ivanka Herasya. Mungkin kebahagiaan tidak pernah mau singgah ber...