Delusi

2.1K 218 25
                                    

Berat dan pusing menyerbu kepala Ivanka. Matanya terpejam, perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali untuk menajamkan pandangannya yang terasa kabur. Tanpa perlu bertanya, ia tahu, sekarang ia berada di mana.

Mengingat kembali apa yang membuatnya tak sadarkan diri, seketika, ia menghela napasnya. Ia kira, mentalnya kuat, tapi baru terkena sedikit masalah dengan pekerjaan Kafi, ia langsung tumbang. Ia sadar, ia sangat lemah untuk berada di samping Kafi.

"Ivanka. Alhamdulillah, kamu udah sadar. Mama panggil dokter dulu, ya," ucap wanita paruh baya yang sedari tadi ada di samping ranjang Ivanka, yang bahkan, Ivanka tidak sadar kehadiran wanita itu.

Ivanka mengangguk. Ia memijat keningnya yang terasa berat. Ia mengamati sekitar ruangan. Tak ada sosok yang ia cari dan ia butuhkan. Seseorang yang harusnya ada di sini.

Tak lama, sosok wanita tadi kembali bersama beberapa perawat serta dokter. Dokter memeriksa keadaan Ivanka dan memberikan nasihat pada sang ibu.

"Cari siapa, Van?"

Ivanka mengembuskan napasnya. "Kafi nggak ke sini, Ma?"

"Kafi? Siapa?" tanya sang mama bingung.

Ivanka terdiam. Keningnya berkerut tanda bingung. "Mama belum kenal, ya?"

"Kamu punya pacar, Van?"

Ivanka mengangguk, lalu menggeleng. "Bukan sih, lebih tepatnya calon suami."

Ivanka dapat melihat jelas raut khawatir sang mama. Wanita itu tampak kebingungan. Ivanka tak mau berpikiran buruk, tapi otaknya langsung merangkai apa yang ia alami.

Ivanka terdiam. Tatapannya berubah kosong. Apa selama ini ia tak pernah kenal dengan Kafi? Apa selama ini hanya delusinya saja? Ivanka lupa akan jati dirinya. Ia tak bisa membedakan mana nyata dan hanya halusinasi.

Ivanka tak sadar mengeluarkan air matanya. Dengan sisa-sisa harapan, ia menatap sang mama yang menggenggam tangannya erat. Ivanka tak mau berharap lebih, tapi meski sekadar delusi, ia bahagia dengan Kafi.

"Ma, kenapa aku bisa di sini?"

"Kamu pingsan di apartemen. Gema langsung bawa kamu ke sini dan hubungi Mama," jawab sang mama dengan lembut.

Ivanka terbahak. Ia merasa bodoh sekarang. "Mama tahu, Ammar Kaysan Kafi?"

"Seleb TikTok yang digosipin mau nikah sama Aisyah itu?" tanya sang mama yang membuat hati Ivanka hancur lebur.

Ivanka menangis dan meraung sejadi-jadinya. Kebahagiaannya selama ini hanya hasil delusi yang ia inginkan. Nyatanya, hidupnya tak pernah bahagia. Semua orang menjatuhkan Ivanka dengan telak. Rasanya sakit.

Ivanka benar-benar merasa hatinya teriris perih. Selama ini, ia hanya hidup dalam lamunan. Kafi hanya cerita dalam angan. Ivanka ingin memaki pada otaknya yang rusak.

Perempuan itu memukul-mukul kepalanya dengan keras dan mengumpati dirinya. Ivanka merasa dirinya hanya beban. Tak berguna. Perasaan itu kembali. Ia mempertanyakan, untuk apa dirinya hidup di dunia ini? Dunia saja seperti enggan menerimanya.

Ivanka tak menyadari dirinya histeris. Sang mama segera memanggil dokter. Ruangan Ivanka penuh, tapi wanita itu masih tak menyadari sekelilingnya. Ia hanya ingin meluapkan perasaan sesak yang membuatnya tak berdaya.

Ruangan itu penuh keributan. Suara tangis, teriak saling bersahutan. Ivanka sudah tak peduli. Ia hanya ingin delusinya nyata dan kenyataan menjadi delusi. Ini yang selalu ia takutkan. Semua bahagianya semu. Kafi tak benar-benar ada di hidupnya.

Ivanka butuh ditenangkan. Dokter belum berani mengambil tindakan untuk obat penenang, karena Ivanka baru saja sadar. Semua orang kewalahan. Sang mama sudah berkali-kali berbicara pada Ivanka, tapi perempuan itu tak mendengarnya sama sekali.

Ivanka terus memanggil nama Kafi dan berharap lelaki itu hadir sebagai ilusinya. Ivanka berharap, meski hanya sebentar, ia ingin menatap sosok Kafi, mungkin sebelum semuanya berakhir untuk Ivanka.

Ivanka berkali-kali mencoba menghadirkan sosok Kafi dalam benaknya, tapi selalu gagal. Ia seolah tak mampu membentuk bayangan wajah Kafi.

Kafi memang tak bisa ia raih. Dirinya hanya seonggok manusia penuh derita, tak sebanding dengan Kafi yang luar biasa. Lelaki dengan segala reputasi baiknya. Ivanka sadar, ia tak bisa melawan alur, meski halusinasinya selalu mencoba melawan.

Ivanka terlalu lemah. Ivanka terlalu buruk untuk mengharap bahagia. Nyatanya, tak ada yang bisa membantunya keluar dari alur menyedihkan. Ia malah terlihat semakin menyedihkan.

Apa kata dunia, jika Kafi si manusia alim, bersanding dengan Ivanka yang mungkin bagi orang-orang di luar sana di anggap gila dan tidak waras. Pengobatan yang ia jalani tak berguna. Dia masih sama.

Sepertinya, tak ada yang mampu mengerti dirinya, bahkan Ivanka sendiri juga tak mengerti. Tak ada yang menginginkan orang gila seperti Ivanka, termasuk dirinya.

"Ivanka, dengar Mama! Nanti Mama coba cari Kafi lewat teman Mama. Kamu jangan begini, Nak!" ucap sang mama dengan putus asa.

Ivanka menggeleng dengan air mata yang terus mengalir. Dirinya melemah, ia tak tahu, tapi ia ingin terpejam sejenak. Melupakan lara yang menyayat hatinya.

Matanya memberat. Dalam kesadaran yang semakin menipis, ia tersenyum. Ia melihat ilusi Kafi yang tampak buram. Mimpinya sangat indah. Ia ingin hidup dalam delusi ini.

Ivanka mengucapkan terima kasih tanpa suara, sebelum kesadarannya hilang total karena efek obat. Semua tampak kacau di ruangan itu. Sang mama hanya bisa menangis sembari mengusap tangan Ivanka. Semua salahnya.

Dia pernah hampir kehilangan Ivanka, dulu, saat perempuan itu hancur sejadi-jadinya karena Gamilang dan ia penyebabnya. Harusnya, ia tak egois. Harusnya Ivanka tak berada di lingkungan toksik.

"Bahagia terus, Van!"

Tak ada sahutan selain embusan napas teratur. Ivanka nyenyak dalam mimpinya. Mimpi yang mungkin saja mendapatkan Kafi di dalamnya. Kafi yang ia anggap delusi semata.

Tak ada yang tahu, Ivanka sebenarnya takut, delusinya membuat buruk keadaan. Dia takut, selama ini ia menguntit Kafi untuk bahan delusi.

"Dia histeris berat dan stres berat. Kami hanya memberi obat penenang, bukan obat bius. Dia tak sadar, tapi biarkan dia istirahat dulu dan pikirannya tenang," ucap sang dokter yang diangguki sang mama.

Setelah dokter pergi. Wanita paruh baya itu mencium kening Ivanka. Dia sadar, dulu keluarganya tidak harmonis. Sering terjadi pertengkaran yang membuat Ivanka tak nyaman. Dia dan suaminya sama-sama sibuk, sampai lupa dengan anak-anak yang butuh perhatian lebih.

Wanita itu berharap, Ivanka akan menemukan bahagianya. Dia sudah berjanji, akan selalu mendukung dan memberikan yang terbaik untuk Ivanka. Ia pernah gagal menjadi orang tua, kini saatnya ia menebus semuanya.

Ia tahu, jalan yang dilalui Ivanka tak akan mudah ke depannya, tapi anak perempuannya sudah melalui hal yang lebih sulit. Semoga ia salah. Semoga bahagia akan menyertai Ivanka. Bukan hanya dalam delusi, tapi dalam dunia nyata.

Sebenarnya, sebagai ibu, ia sadar, Ivanka akhir-akhir ini menjadi lebih hidup dan ceria, tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia dapat kabar, Ivanka tumbang dan kembali histeris. Hal itu menyakitkan untuknya. Ia kira, ia sudah bisa membawa hidup Ivanka lebih baik.

"Maaf, telat. Saya baru dengar kabar Ivanka tadi," ucap seseorang yang baru saja masuk.

Mama Ivanka menoleh, ia menatap sosok yang baru masuk dengan seksama. Ia sedikit terkejut, lalu ia mengangguk dan tersenyum. Entah bagaimana, kehadiran sosok itu membuat ganjalan dan beban di dalam diri wanita itu sedikit terangkat. Dia tak perlu khawatir berlebihan lagi.

***

Halo halo. Setelah minggu lalu nggak sempat update, akhirnya kini bisa update lagi.

Maaf ya, minggu lalu lagi ribet dengan segala urusan wkwkw (sok sibuk)

Shay,
Rabu, 01/06/22

Melawan Alur [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang