Ivanka menghentikan laju motornya di salah satu restoran yang dekat dengan kosnya. Tadi, saat membicarakan makan, mereka sama sekali tak mendapat kesepakatan makan di mana, jadi Ivanka langsung mengambil inisiatif dirinya yang memilih tanpa persetujuan dari dua manusia aneh itu. Anggap saja mereka setuju.
Setelah memarkirkan dengan benar, Ivanka masuk ke restoran begitu saja tanpa mau menunggu Kafi dan Dimas yang sibuk memarkiran mobilnya. Ivanka tak peduli, dia langsung duduk di salah satu bangku kosong dan memesan makanan untuk dirinya sendiri. Kedua orang yang mengajaknya tadi juga sudah dewasa, sudah bisa memesan makanan sendiri.
Tak lama, dua lelaki masuk ke dalam restoran sambil celingukan mencari Ivanka. Ivanka tak berniat melambaikan tangan untuk memberi tanda pada mereka. Biarkan mereka menemukan Ivanka dengan sendirinya.
"Ivanka, kenapa nggak nungguin?" tanya Kafi sambil menarik kursi di hadapannya setelah berhasil menemukan keberadaan wanita itu.
Ivanka menaikkan sebelah alisnya. "Buat apa?"
Kafi mendudukkan diri di hadapan Ivanka. "Ini acaranya 'kan makan bareng."
Ivanka mendengkus. "Buat apa nungguin kalau kalian bisa nyari sendiri."
Kafi tersenyum masam. Sulit menaklukkan Ivanka. Wanita itu keras. Entah apa yang membentuk kepribadian Ivanka seperti itu.
"Kamu udah pesan?" tanya Kafi sambil melempar senyum manisnya. Ivanka mengangguk. "Oke, makasih."
Ivanka mengerutkan keningnya. "Makasih buat?"
"Sudah pesanin makanan."
Ivanka mendengkus. "Saya pesan buat saya sendiri. Saya tidak memesankan kalian."
Dimas menyemburkan tawanya saat melihat ekspresi Kafi yang melongo. Sepertinya wanita di hadapannya bukan tipe yang mudah terperangkap dalam pesona Kafi. Kafi mendapat lawan yang lebih tangguh.
Kafi memejamkan matanya. Ia berusaha sabar. Mendekati seorang Ivanka tak semudah bayanganya. Ivanka beda. Wanita itu tak banyak bicara, bahkan kalau tak ditanya, dia tak akan membuka suara.
Dimas segera memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan mereka. Suasana menjadi hening. Ivanka sibuk dengan ponselnya, sedangkan Kafi sibuk menatap Ivanka.
Pesanan milik Ivanka datang. Dengan santai, wanita itu melahap makanannya tanpa berniat menunggu makanan Kafi dan Dimas datang. Dimas yang sudah lapar, meneguk ludahnya karena pengin.
"Nggak mau nungguin kita, Mbak?" tanya Dimas mencoba membuat wanita itu peka.
"Nggak."
Satu kata yang dilontarkan Ivanka, sebelum wanita itu kembali menyendokkan nasinya. Dimas kapok. Ivanka memang ngeri. Bisa-bisanya Kafi suka pada wanita itu. Sudah tanpa ekspresi, judes, ngomong cuma sepatah kata.
Kafi menatap Ivanka. "Makan aja! Senang bisa lihat kamu makan lahap." Ivanka hanya melirik sekilas tanpa berniat membalas. "Kamu udah lama kerja di Termal?"
Ivanka menegakkan tubuhnya, lalu mengambil air mineral yang ia pesan dan meneguknya. "Kepo."
Dimas terbahak. Sebuah hiburan untuknya. Kafi seperti kehilangan kata. Menghadapi Ivanka tak mudah. Kafi itu pintar bicara, tapi sekarang seperti mati kutu.
"Dengar, Kaf, jangan kepo." Dimas meledek Kafi yang membuat lelaki itu meninju lengan Dimas.
Pesanan Kafi dan Dimas datang. Dimas segera meraih segelas es tehnya dan meneguknya. Dia sudah kehausan sedari tadi. Menertawakan kegagalan pendekatan Kafi butuh energi tambahan.
Kafi mengembuskan napasnya, ia meraih minumannya dan meneguknya. Ia sedang mengumpulkan kata untuk dapat mengobrol lebih lama dan lebih dekat dengan Ivanka. Sejauh ini, Kafi hanya tahu nama Ivanka dan di mana wanita itu bekerja, selebihnya, dia tak tahu apa-apa. Bahkan, nama lengkap Ivanka saja dia tak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Alur [Completed]
Literatura FemininaCompleted Pernah menjadi selingkuhan dan disalahkan, tapi dia tidak mengetahui apapun. Rasa bersalah selalu menghantuinya, padahal dia tidak salah. Dia yang dikenal sebagai pengganggu. Ivanka Herasya. Mungkin kebahagiaan tidak pernah mau singgah ber...