"Kenapa lo kerja di sini?" tanya Ivanka saat Tara baru saja masuk ke ruangan yang kini hanya ada mereka berdua.
"Lo juga kenapa?"
Ivanka mendengkus. Bukannya menjawab malah balik bertanya dan ia benci hal itu. Dia bertanya untuk dijawab, jika lawan bicaranya bertanya kembali setelah menjawab, ia tak masalah.
"Gue nanya harusnya lo jawab dulu!" ketus Ivanka yang membuat Tara menarik ujung bibirnya tipis.
"Gue bosen." Ivanka mengangguk. Ia paham. "Sekarang lo jawab pertanyaan gue!"
"Sama. Bosan dan malas sama lingkungan mereka," jawab Ivanka dengan tenang.
Suara kekehan terdengar dari mulut Tara. "Malas dengan lingkungan mereka? Lalu, apa bedanya sama lingkungan lo kali ini? Jauh lebih mengerikan, bukan?"
Ivanka mengembuskan napasnya, ia mengangguk. "Terkadang gue ngerasa salah langkah, tapi ya sudahlah, kalau hidup gue jalannya gini. Gue udah nggak peduli lagi seberapa banyak manusia menyakiti gue."
Tara terdiam. Ia menatap Ivanka lama. Dia mulai banyak tahu tentang kehidupan Ivanka dari keluarganya. Banyak sekali informasi yang mengejutkannya. Mungkin Ivanka terlihat tak peduli, tapi ia tahu, wanita itu sangat rapuh. Wanita itu butuh penopang, wanita itu butuh diyakinkan bahwa hidup itu untuk bahagia.
Tara mungkin juga banyak mengalami luka, tapi ia yakin, tak separah Ivanka. Perlahan, ia merasa perlu membantu Ivanka bangkit. Wanita itu berhak merasakan apa itu bahagia.
"Lo percaya nggak, di dunia ini ada yang namanya bahagia?" tanya Tara dengan pelan.
Ivanka menoleh ke arah Tara dengan cepat, lalu ia menggeleng. "Dulu sempat percaya, tapi setiap kehidupan pasti berakhir dengan menyedihkan, yaitu kematian. Setiap kematian nggak ada yang mengakibatkan bahagia dan tertawa."
Tara memejamkan matanya, lalu berjalan menuju kubikelnya dan duduk di bangku. Lelaki itu menatap Ivanka lagi. Rasanya bukan seperti itu. Ivanka memang tak memahami siklus kehidupan dengan baik. Terlalu banyak luka, menutup pandangan wanita itu.
"Mau mematahkan satu teori jelek lo? Kalau setidaknya di akhir masa hidup bakal ngerasain bahagia, nggak?" tanya Tara dengan penuh tantangan.
"Nggak."
Tara mendengkus. "Kalau lo ngerasa alur hidup lo itu hanya berisi kesedihan, maka lo harus lawan alur itu! Temuin buat ngelawan. Gue tahu, lo tipe yang suka ngelawan. Gue bantu lo."
Ivanka melirik ke arah Tara yang menatapnya lekat. Ivanka tertawa sumbang. Sungguh ia merasa lucu. Seorang Tara kenapa bersikap sok perhatian, biasanya lelaki itu tak peduli sama sekali.
"Kenapa lo jadi perhatian? Emangnya kalau gue mau, lo mau bantu apa?" tanya Ivanka skeptis.
Lelaki itu tersenyum. "Gue akan bantu lo, dengan cara lo jatuh cinta."
Ivanka terbahak. "Sama lo? Hidup nggak selamanya tentang cinta."
Tara mengangguk. "Biar lo percaya, setidaknya ya cara paling mudah lo merasakan jatuh cinta. Nggak harus sama gue. Sama cowok manapun gue akan bantu, termasuk Kafi."
Ivanka terdiam. Dia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Tara. Lelaki itu aneh hari ini. Apa ini salah satu trik agar perjodohan berlanjut? Ivanka menjadi berprasangka buruk.
Belum sempat menyampaikan tuduhannya itu, rekan beberapa rekan kerjanya sudah masuk ke ruangan. Ivanka mengurungkan untuk bertanya lebih lanjut. Dia tak mau ambil risiko semakin mendapatkan omongan tak mengenakan dari mereka.
Meski mungkin omongan pedas teman-temannya sudah hal biasa, tapi percayalah, Ivanka sebenarnya juga merasakan sakit. Dia juga tak mau berada di posisi ini. Semuanya terasa tak adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Alur [Completed]
ChickLitCompleted Pernah menjadi selingkuhan dan disalahkan, tapi dia tidak mengetahui apapun. Rasa bersalah selalu menghantuinya, padahal dia tidak salah. Dia yang dikenal sebagai pengganggu. Ivanka Herasya. Mungkin kebahagiaan tidak pernah mau singgah ber...