Kembali ke Rumah

1.5K 201 6
                                    

Ivanka menatap lelah ke arah sepasang manusia berusia lebih dari setengah abad di depannya. Ivanka sudah tak mau menghadapi keduanya lagi. Dia tak mau dengan segala tekanan yang selalu membayanginya.

Tadi sore, setelah pulang diantar oleh Kafi, kedua orang tuanya bersama para pengawal mencegatnya di depan pintu kos dan menyeretnya pulang. Meski sudah beberapa kali berontak, tapi tetap saja, ia tak sebanding. Akhirnya ia pasrah dan menuruti orang tuanya sampai di rumah berlantai dua yang cukup luas itu.

"Kamu berhenti konsul?" tanya sebuah suara dengan nada dingin dan membuat suasana mencekam.

Ivanka bergidik. Bayangan masa kecilnya sungguh menyedihkan. Berapa kali suara itu membuatnya terluka. Batin dan fisik dia remuk luar biasa. Dia ingat, saat dia melakukan kesalahan di sekolahan, hingga sang ayah dipanggil, maka, sang ayah tak segan-segan menghukum Ivanka dengan menampar atau memukul. Saat nilai Ivanka tak memuaskan, maka lelaki itu akan mengurungnya di kamar seharian bersama tumpukan buku tanpa makanan dan minuman. Dia baru bisa keluar setelah diberikan sejumlah soal dan harus mendapatkan nilai sempura.

Ivanka nyaris gila di rumah itu. Bukan lagi nyaris, tapi sudah gila. Ivanka memejamkan matanya. Dia harus berusaha tenang dan mengendalikan dirinya.

"Aku udah nggak butuh."

Lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian itu mendengkus. "Mau begini terus? Sudah berapa lama berhenti?"

"Sudah lama," jawab Ivanka dengan tenang. "Aku udah sembuh karena nggak sama kalian lagi."

Suara kekehan terdengar menakutkan. Ivanka menelan ludahnya. "Yakin?" Ivanka mengangguk mantap. "Suka senyum-senyum tak jelas, ketawa sendiri dan ngobrol sendiri itu apa, Ivanka?"

Ivanka merasa sesak di dadanya. Dia merasa selama ini sudah membaik. Dia sudah mulai bisa mengendalikan emosinya. Dia juga sudah tak pernah tantrum lagi. Semua sudah membaik, setidaknya satu tahun belakangan ini.

Sang mama yang sedari tadi diam mendekat ke arah Ivanka. Wanita itu mengusap bahu Ivanka yang sepertinya sedang kaget. Lina, ibu Ivanka jelas tahu apa yang dialami sang anak. Memang ada perubahan, tapi Ivanka terkadang masih berbicara sendiri tanpa ia sadari. Lina tak pernah lepas pengawasan pada anaknya.

"Ivanka, kamu mau lanjutin betobat sama dokter Aldi lagi ya? Biar semakin membaik. Memang, Mama tahu, setahun ini kamu udah membaik, tapi semua perlu pengawasan, Van," ucap sang mama lembut. Dia baru menyadari akhir-akhir ini, sang anak tidak suka dipaksa dan dibentak. Ivanka lebih suka diajak bicara lembut.

"Mulai hari ini, kamu tinggal di sini lagi. Kamu kami awasi, terutama konsultasi ke dokter Aldi," ucap sang papa tegas sebelum berjalan menjauh dari dua wanita itu.

Ivanka terdiam. Jika di sini lebih lama, bukannya membaik, dia lebih parah. Dia tidak mau diatur oleh orang tuanya. Dia ingin sendiri. Dengan menyendiri, dia merasa lebih baik. Dia merasa punya tempat pulang. Dia merasa aman.

Ivanka menggelengkan kepalanya terus-menerus. Wanita itu tertawa sumbang. Sang mama hanya bisa mengusap-ngusap sang anak sambil menenangkan. Didikannya memang salah, ini akibatnya. Suaminya juga sangat keras, tak ada yang bisa membantah atau melawan lelaki itu.

Lina menghela napasnya. "Kamu istirahat ya, Van! Biar Mama nanti bicara ke Papa."

"Ma," panggil Ivanka saat sang mama baru akan melangkah. "Vanka mau lanjut ke dokter Aldi, tapi Vanka mohon, biarkan Ivanka tinggal sendiri."

Sang mama tersenyum. "Mama usahakan. Kamu istirahat ke kamar!" Sang mama mengusap rambut sang anak. "Masih ingat kamar kamu, 'kan?"

Ivanka mengangguk. Sang mama meninggalkannya di ruang keluarga yang luas dan sepi. Ivanka berharap, sang mama benar-benar berhasil membujuk papanya. Dia tak mau tinggal di rumah ini. Dia lebih baik diawasi dari jauh daripada harus setiap hari berada di dekat papanya. Dia benar-benar merasa takut dan tak nyaman.

Melawan Alur [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang