Mulai Goyah

1.9K 241 8
                                    

Hannah Ciantia Aisyah, wanita cantik yang seharian ini menemani Kafi, lebih tepatnya karena permintaan sang kakak. Dila, kakak Kafi, mengenal Aisyah dengan baik. Mereka berteman dari sebuah forum perempuan yang keduanya ikuti.

"Terima kasih, Aisyah." Kafi berkata setelah menghentikan laju mobilnya di depan rumah Aisyah.

Aisyah tersenyum. "Saya yang harusnya terima kasih, Mas Kafi. Maaf merepotkan."

"Yang ngerepotin tuh Kak Dila, bukan kamu." Kafi membalas dengan candaan yang disertai tawa.

Aisyah mengangguk. "Saya keluar ya, Mas. Sekali lagi terima kasih, mau direpotin saya dan Mbak Dila."

Kafi mengangguk dan membalas ucapan salam dari Aisyah sebelum wanita itu keluar. Kafi terdiam sejenak di dalam mobilnya. Rasanya aneh, duduk berdua di mobil bersama perempuan. Sebelumnya, dia tak pernah seperti itu, kalau bukan karena kakaknya, dia tak mau dan andai Dimas tidak sibuk, pasti ia mengajak lelaki itu.

Kafi menggeleng. Ia jalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah milik Aisyah. Di sepanjang perjalanan, ia merasa aneh dengan dirinya. Ada yang salah. Kafi merasa emosi, tapi tak tahu, harus melampiaskan ke siapa. Kakaknya tidak salah, dirinya yang salah tak bisa menolak.

Aisyah, wanita baik dengan tutur lembutnya. Wanita itu sopan. Tak ada yang salah. Aisyah menyenangkan, diajak ngobrol juga nyambung. Bukan hal sulit untuk jatuh hati pada wanita itu. Kafi bahkan kagum, hanya kagum, tak lebih.

"Harusnya tadi nggak berdua. Dosa banget jalan berduaan doang," gumam Kafi pada dirinya sendiri.

Kafi memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Pikirannya lelah, setelah bekerja, langsung pergi bersama Aisyah. Dia akan menemui kakaknya. Dia paham maksud dari Dila.

Setelah mengucap salam, Kafi masuk ke rumah dan mendapati sang kakak yang tersenyum puas ke arahnya. Wanita itu memainkan matanya seolah menggoda Kafi.

"Barang Kakak dapat, 'kan?" tanya Dila yang masih mempertahankan senyumnya.

Kafi mengangguk, ia serahkan barang milik kakaknya dengan sedikit melempar. "Lain kali jangan gitu, Kak. Aku nggak suka."

"Cantik, 'kan, Kaf?" tanya Dila yang membuat Kafi mendengkus.

"Cantik, baik, lembut, shalehah. Itu 'kan yang Kakak mau dengar?" tanya Kafi sebal. "Dia emang gitu, tapi aku nggak suka, Kak. Apalagi tadi dia sampai nelpon dan datang ke unit apartemen, Kak. Pasti Kakak yang ngasih tahu?"

Dila mengangguk bangga. "Kamu kalau nggak dia yang gerak duluan, nggak akan gerak, Kaf. Makanya Kakak kasih alamat sama nomor kamu."

"Kak, nggak usah jodoh-jodohin sampai segitunya! Aku bisa cari pasangan sendiri sesuai keinginanku." Kafi berbicara dengan lembut ke arah kakaknya. "Nanti, aku bakal gerak kalau nemu yang cocok," ucap Kafi seraya tersenyum.

"Tapi mana? Sampai sekarang nggak ada, 'kan?"

Kafi menggeleng. "Ada. Masih diusahakan. Kalau sudah ada lampu hijau, nanti aku kenalin."

Kafi beranjak pergi dan membiarkan sang kakak yang masih terpaku di tempatnya. Kafi masuk ke dalam kamarnya. Dia akui, Aisyah lebih segalanya dari wanita lain, tapi entah bagaimana, dia tak paham dengan perasaannya yang lebih berpihak pada Ivanka.

Ingin sekali ia menghubungi Ivanka, tapi ia tak punya akses. Nomor telepon tak punya, alamat tempat wanita itu tinggal juga tak punya. Sepertinya besok pagi dia bisa datang ke tempat wanita itu kerja untuk menemui dan meminta nomor atau alamat wanita itu.

Ah, seketika Kafi jadi tidak sabar untuk hari esok. Dia sendiri merasa heran dengan dirinya yang bisa berubah aneh karena seorang Ivanka. Dia pernah menyukai perempuan, tapi tak sampai segila saat ini. Benar kata kakaknya, dia tak akan bergerak lebih dulu.

Melawan Alur [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang