Kembali Optimis

1.8K 227 14
                                    

Berada di keramaian adalah suatu hal yang sangat Ivanka benci, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan. Mungkin, saat masih kecil dia akan senang berada di keramaian, setidaknya, dengan keramaian keluarganya tampak harmonis dan baik-baik saja. Tapi tidak untuk beberapa tahun belakangan. Semuanya berubah. Dia mulai mengerti sebuah sandiwara. Dia mulai tahu perasaan tak nyaman.

Ivanka memilih menepi. Ia keluar dari gedung penuh dengan suara itu. Ia meninggalkan Tara yang izin ke belakang. Dia butuh waktu sendiri. Meski Tara sama sekali tak mengganggunya, tapi dia butuh ruang gerak sendiri, tidak dengan Tara yang selalu mengikutinya seperti tadi.

Di luar gedung bagian samping, gelap dan sepi. Ivanka menyukai tempat itu. Wanita itu melangkah menuju beton dan duduk di sana. Angin malam memeluknya dalam sunyi dan kesendirian. Ia merasa nyaman di sana.

"Sendirian aja? Nggak sama Tara?" Sebuah suara yang Ivanka yakini milik lelaki menyapa indera pendengarannya.

Ivanka membuka matanya dan menoleh ke sumber suara. Di dalam pencahayaan yang minim, mata Ivanka mencoba mengenali wajah lelaki itu.

"Kenapa di sini?" tanya Ivanka setelah tahu siapa sosok yang kini duduk berjarak dua jengkal di sampingnya.

"Ngadem. Di dalam sumpek, mana nggak ada yang kenal," jawab lelaki itu sembari tersenyum lebar.

Ivanka mendengkus. "Kamu kenal siapa?"

"Nganter kakak saya," jawab lelaki itu yang membuat Ivanka mengangguk. "Kamu sendiri, sebagai adik, kenapa nggak di dalam?"

"Capek."

Lelaki itu terkekeh mendengar jawaban singkat Ivanka. Ia menatap ke depan, ke arah tembok tinggi yang berfungsi sebagai pagar yang hanya diberi satu penerangan remang.

"Kamu punya hubungan sama Tara? Dia pacar kamu?" tanya lelaki itu tanpa menoleh ke arah Ivanka.

Ivanka menatap lelaki yang ia tahu bernama Kafi itu, lalu mengangguk meski tak dilihat oleh Kafi. "Iya," jawab Ivanka yang membuat hati Kafi terasa remuk. "Kalau keinginan orang tua, tapi saya hobi membangkang."

Kafi menoleh dengan cepat ke arah Ivanka. "Maksud kamu?"

"Kamu tahu, di keluarga kayak saya ini, semua serba diatur, termasuk jodoh, kakak saya nikah karena sebuah aturan itu." Ivanka mencoba menjelaskan. Entah kenapa, ia mulai nyaman mengobrol dengan Kafi. "Perjodohan. Saya sama Tara diatur untuk itu, tapi saya jelas menolak."

Kafi tersenyum. "Saya masih punya kesempatan dong?"

"Kesempatan? Untuk?"

"Menjadi pasangan hidup kamu nantinya? Bukankah saya sudah pernah kasih kamu proposal?" tanya Kafi dengan senyum yang tak luntur.

Ivanka terbahak. "Ngaco. Saya masih nyaman sendiri. Saya malas mikir pasangan. Lagian, saya nggak percaya cinta."

Kafi menghela napasnya. Ivanka itu keras kepala. Sepertinya susah menaklukkan wanita satu ini. Meski begitu, ia kembali optimis, rasa tak percaya diri dan pesimis sudah hilang sejak beberapa waktu lalu. Ia masih punya peluang yang begitu besar.

"Kenapa nggak percaya? Kamu bisa jadi salah satu makhluk yang merugi kalau nggak mau merasakan cinta."

Ivanka melirik Kafi. "Kalau kamu berpikir saya belum pernah merasakan cinta, kamu salah. Saya pernah, dan dari itu, saya tak lagi berharap jatuh cinta dan mempercayainya lagi. Cinta itu hanya menghancurkan dan membunuh."

Kafi menggeleng. "Kamu salah. Kamu salah dalam memilih waktu dan orang untuk jatuh cinta. Nggak semua cinta itu buruk. Cinta nggak selalu jatuh, cinta sesungguhnya bukan jatuh, tapi terbang meraih kebahagiaan bersama."

Melawan Alur [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang