Tidak tau siapa yang memulai.
Namun karena sore hari di Pantai Ancol itu, hubungan keduanya tidak se-kaku dan seformal biasanya. Adel bisa dengan santai bercerita mengenai keluarganya dan juga dirinya. Sementara Arlan yang biasanya julid berubah menjadi pendengar yang baik.
"Saya memang tidak salah memilih dress ini untuk kamu." tutur Arlan sambil menatap Adel kagum.
Adel mendengus sebal. "Terlalu mewah tau, Pak! Nggak cocok sama saya!"
"Dimata saya kamu itu cantik pakai baju apapun." balas Arlan sembari meraih tangan Adel.
Gadis itu mendengus kemudian mengapitkan tangannya pada lengan Arlan tanpa rasa canggung. Dia sudah biasa kontak fisik dengan bos rese-nya ini. Terutama saat Arlan dengan seenak jidat menyuruhnya memijit lengan cowok itu yang terasa pegal.
"Mana sih, Pak? Kok dari tadi saya nggak lihat cewek yang bapak suka." tanya Adel kebingungan.
Arlan tersenyum. "Kamu belum lihat saja, dari tadi saya ngelihat kok."
"Masa sih?" Adel kebingungan.
Cowok itu mengangguk pelan lalu membawa Adel duduk di sebuah kursi yang dekorasinya begitu mewah. Mungkin satu kursi saja menghabiskan lebih dari setengah uang gaji Adel.
"Kok saya ngerasa jadi kerikil diantara batu berlian ya, Pak?" Adel tiba-tiba tidak percaya diri.
Arlan mengelus tangan Adel pelan. "Makanya saya selalu ada disamping kamu, agar menjadikan kamu lebih berkilauan dari intan permata."
Adel termenung.
Kok deg-deg an ya?
"Sejak kapan Bapak jadi puitis begitu?" tanya Adel bingung.
Arlan tersenyum. "Sejak saya tau rasanya jatuh cinta."
Adel menatap bosnya itu dalam diam. Mendadak dia penasaran seperti apa perempuan yang disukai oleh Arlan. Apakah orang itu kaya raya dan sangat cantik? Pastinya begitu, Adel tidak ada apa-apanya jika disandingkan dengan wanita itu.
"Pak, besok apa perlu kaya gini lagi?" Adel dengan ragu bertanya.
Arlan menggeleng. "Tidak usah, selebihnya biar saya saja."
"Kenapa?"
Cowok itu menyodorkan segelas minuman kearah Adel, namun tidak sengaja dia sedikit menumpahkan minuman itu ke tangannya. "Karena saya rasa perempuan itu sudah sedikit menerima kehadiran saya."
Adel menganggukkan kepala mengerti, dia meraih tisu, lalu mengelap tangan Arlan yang ketumpahan minuman dengan hati-hati. Arlan hanya diam memandang gadis itu. Adel menjawab dengan senyuman segaris lalu berujar pelan.
"Bagus, deh."
Arlan menatap gadis itu dengan sorot mata tersirat akan makna.
"Del." panggilnya.
"Hm?" sahut Adel.
Cowok itu menghentikan tangan Adel yang mengusap tangannya. Membuat Adel mendongakkan kepalanya.
"Saya pernah bilang jangan ada cinlok di kantor, kan?" tanya Arlan.
Adel mengangguk. "Pernah, Pak."
"Sekarang kan diluar jam kerja, kita juga lagi nggak dikantor..." tutur Arlan dengan nada menggantung.
Adel mengerutkan kening. "Terus?"
"Saya sudah boleh mencintai kamu?"
•••
Bagaikan disambar petir di tengah kemarau, Adel pulang dengan wajah kusut karena kesal. Dean yang hendak menyambutnya dengan sapaan ceria langsung urung saat melihat wajah suram putrinya. Sepertinya bukan saat yang tepat.
"Pulang malem banget, Del? Papa tungguin dari tadi loh." tutur Dean cemas.
Adel mendongak. "Pa, disekitar sini ada yang jualan sianida?"
Dean mendelik horor. "Buat apa?"
"Mau Adel cekokin ke mulut Arlan!" tutur Adel dengan nada emosi.
Dean mengelus dada takut. Sementara Adel melanjutkan langkahnya masuk kedalam rumah dengan lunglai. Mengingat apa yang dilakukan Arlan tadi membuat dia malu sekaligus kesal.
"Saya sudah boleh mencintai kamu?"
Adel mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap Arlan yang tengah tersenyum teduh padanya. Jantung Adel mempompa darah dengan kecepatan tidak biasa karena tatapan mata itu. Rasanya Adel ingin menghilang sekarang juga.
"Gimana, Pak?" tanya Adel kikuk.
"Saya sudah boleh mencintai kamu?" Arlan kembali bertanya.
Gadis itu memalingkan muka sambil mengipasi wajahnya yang terasa memanas.
"Saya--"
"Udah keren belum, Del? Kira-kira orang yang saya sukai bakalan baper nggak, ya?" tanya Arlan sambil tertawa.
Kampret!
Adel langsung mencengkeram erat gelas minuman yang dia pegang. Mungkin kalau dia titisan kuda lumping, sudah dia kunyah halus beling dari gelas itu.
"Pak, saya mau pulang." tutur Adel.
Arlan tertawa pelan. "Disini dulu a-j--ja."
Ucapan cowok itu tergagap saat melihat aura suram yang memancar dari wajah Adel. Tanpa mengucap apapun gadis itu menaruh gelas dengan kasar kemudian melenggang pergi begitu saja sambil membawa tas tangannya, mulutnya mengumpat seiring langkahnya menjauh.
"Arlan setan! Dajjal! Iblis! Jin!"
To be continued…
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Fate | Takdir Cinta| Lengkap✔
Humor"Kok nama kontak saya ada setannya, Del?" Arlan menambahkan saat tidak sengaja melirik layar ponsel Adel. Gadis itu langsung melempar senyum. "Iya, karena bapak itu sikapnya haluuuss banget. Setan kan makhluk halus..." "JADI BAPAK ITU MASUK KATEGORI...