Netra hazel Ann membola kaget. Kejadian sepersekian detik itu sama sekali tak bisa dicernanya. Lutut gadis itu kini sedikit gemetar, tak kuat menahan beban berat laki-laki bermanik mata cokelat gelap itu dalam pelukannya. Ia lantas merunduk guna menidurkan laki-laki itu—dan sedikit menyeretnya masuk agar tidak menghalangi pintu.
Kasar? Tentu saja!
Entahlah, Ann panik. Ia sama sekali tidak terlatih untuk hal semacam ini.
Ann berlutut di samping lelaki itu, mengguncang-guncang bahunya, seakan itu ada gunanya. Ia benar-benar tak tahu harus apa sekarang. "L-lo kenapa? Gue harus apa? Bilang dong!" Gadis itu menyusurkan tangan gemetar di sisi kanan wajahnya. "Arshaka! Shaka!" pekiknya memanggil nama yang terbaca di nametag seragam laki-laki itu—Arshaka Gibran Keenandra.
Dada lelaki itu naik-turun tak beraturan. Bibirnya biru dan ia mengeluarkan suara tercekik yang mengerikan. Kepalanya bergulir sedikit ke kanan, memandang sekilas gadis itu dengan matanya yang mengerjap, lalu memalingkan wajah ke arah sebaliknya, ke lemari kecil tempat penyimpanan obat.
"Inhaler," gumam Ann. Ia dengan cepat bangkit dan membuka lemari tersebut. Ia cukup yakin benda itu yang harus dicarinya, melihat gejala sesak napas yang dialami laki-laki itu sama seperti gejala asma. Urusan benar atau tidak, Ann tak tahu. Yang jelas, ia tak punya banyak waktu.
Ann mengobrak-abrik isi lemari tersebut, membuat berstrip-strip obat kaplet, perban, dan benda lain yang ada di sana tumpah ke lantai.
"Shit!" umpatnya dalam panik. Tak menemukan benda yang dia cari di kotak lemari tersebut, Ann pun berpindah ke satu kotak lemari—kotak terakhir—yang ada di bagian paling atas.
Ketemu!
Inhaler tersebut masih terkemas rapi dalam kotak karton ketika Ann menemukannya—sepertinya baru saja dibeli dan belum digunakan sama sekali. Ia langsung mengeluarkan inhaler dari kotak, membuka bagian tutupnya, lalu mengocoknya beberapa kali dan menyemprotkan isinya sekali ke udara guna mengecek apakah alat itu berfungsi dengan baik atau tidak.
"Inhaler-nya ketemu!" Gadis itu berbalik, hendak memberikan obat tersebut pada Shaka. "Lo--" Raut wajahnya kian bertambah panik ketika mendapati laki-laki itu sudah diam tak bergerak—hilang kesadaran.
"Nggak. Nggak. Nggak!" Ann menjatuhkan inhaler dari tangan dan berlari menghampiri. Ia semakin panik ketika tak merasakan embusan napas dari hidung lelaki itu. "Please, jangan mati dong." Air matanya melelehi pipi. Panik dan sama sekali tak mengerti harus berbuat apa. Sementara, tak ada satu pun orang yang ada di sana yang bisa ia mintai tolong.
Dalam suasana genting itu, mendadak Ann menyadari sesuatu. Bang Andra, pikirnya. Astaga! Bagaimana ia bisa lupa kalau kakak laki-lakinya adalah seorang dokter? Andra pasti bisa memberinya solusi untuk ini.
Gadis itu menyambar ponsel yang semula ia letakkan di salah satu sisi tempat tidur UKS dan langsung menelepon Andra. Decak pelan terdengar ketika panggilan suara tersebut ditolak oleh kakaknya.
Tak menyerah, Ann pun mencobanya lagi. Kali ini yang ketiga kali. "Ayolah, Bang. Angkat. Gue tau lo sibuk, tapi ini genting banget," ucapnya sambil terus mengetuk-ngetukkan ujung jari tangan kiri pada permukaan ubin—refleksnya ketika panik. Ia kini duduk di samping Shaka, menatap lamat wajah pucat pasi dengan bibirnya yang biru.
Dan konyolnya, di saat seperti ini Ann malah membatin, masa cowok seganteng ini mati sih? Populasi cogan berkurang nanti.
Sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari empati gadis itu. Sungguh.
"Angkat dong, Bang," desis Ann.
Tak lama, panggilan tersebut tersambung.
Dari seberang telepon, samar terdengar Andra tengah bercakap-cakap dengan seseorang, sebelum akhirnya berkata pada gadis itu. "Ann, Abang lagi meriksa pasien. Nanti dul--"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...