Ann menunduk memandangi rumput kecil di depan. Saat ini, gadis itu tengah duduk di undakan depan panti, menunggu Shaka hingga urusannya selesai dengan Bu Dewi—ibu panti. Ia terus melirik jam yang tertera di layar ponsel. Sudah lebih dari setengah jam Shaka berada di dalam.
Kenapa lama sekali?
Sebenarnya Ann ingin masuk, sekedar mengintip jika memang tidak boleh masuk. Ia sungguh ingin tahu apa yang terjadi di dalam, dan kenapa bisa selama itu? Ah, tapi tidak. Rasa-rasanya, itu tidak sopan. Lagipula, Shaka juga pasti akan memberitahunya jika ada apa-apa.
Tak lama, gadis it mendengar suara pintu terbuka, pasti Shaka yang membukanya. Ia langsung berdiri dan menghampiri.
"Gimana?" tanya Ann. Keningnya berkerut bingung, melihat ada sesuatu yang salah sari laki-laki itu. Matanya sembab dna hidungnya merah. "L-lo habis nangis? Kenapa? Ta-tadi Bu Dewi bilang--"
Shaka menarik tangan Ann dan memeluknya, membuat gadis itu urung merampungkan kalimat. "Mama kandung gue ternyata udah meninggal, Ann." Setetes kristal bening jatuh tanpa permisi dari pelupuk matanya.
"Apa?" Jelas Ann terkejut mendengarnya, tapi perasaannya sekarang sama sekali tak penting. Saat ini yang ia khawatirkan, justru Shaka. Laki-laki itu pasti sangat terpukul sekarang. "Nggak apa-apa, nangis aja sampe lo lega." Ia mengelus lembut punggung Shaka. "I'm here for you."
"Makasih, Ann." Shaka mengendurkan pelukannya. Ia sudah lebih tenang sekarang.
"Lo mau pulang? Atau, ke mana gitu? Buat nenangin diri." Gadis itu menawarkan.
Shaka menggeleng pelan, tangannya bergerak menggandeng Ann. "Kita ke rumah Kakeknya Devan. Di sana pasti ada petunjuk tentang siapa Papa kandung gue."
..-/...
"Stop dulu, Ann."
Ann menepikan mobil ketika mereka sampai di sekitar kawasan pemakaman. Gadis itu lantas menghentikan mesinnya. "Kenapa?" tanyanya meihat Shaka yang lantas turun dari mobil. Segera, ia menyusulnya.
"Lo mau nyekar ke makam siapa?" tanya gadis itu. "Makam Mama lo di sini, ya?"
Shaka berbalik setelah selesai membayar bunga tabur dari salah satu pedagang di sana. "Makam Kakek sama Nenek angkat gue," jawab laki-laki itu. "Udah lama gue nggak ke sana."
"Ayo." Laki-laki itu kemudian mengajak Ann masuk ke area pemakaman.
Shaka membawa gadis itu berhenti di dekat salah dua makam yang letaknya berdekatan dengan batu nisan berwarna hitam, lalu berlutut di samping makam tersebut
dan membersihkannya dari dedaunan kering dan rumput liar. Berdoa sejenak untuk mereka.Ann tertegun memandang ukiran pada kedua batu nisan tersebut. Tanggal kematian Kakek dan Nenek angkat Shaka berdekatan, selang dua hari saja. "Kakek sama Nenek lo ... meninggal karena apa?" tanyanya sehati-hati mungkin.
Shaka menjatuhkan pandangannya pada makam. "Gara-gara gue," ungkapnya. "Gue yang udah bikin mereka kaya gini." Ia menghela napas berat, sebelum akhirnya menceritakan kejadian malam itu. Ujung jemarinya mengetuk batu nisan makam sang kakek, membuat ketukan berpola, persis seperti yang kakeknya ajarkan dulu.
Tak banyak yang tahu—tidak juga Devan dan orangtua angkatnya—kalau Shaka dan sang kakek sering berkomunikasi lewat ketukan sandi morse. Katanya, biar kalau asthma Shaka kambuh—dan ia sama sekali tak bisa bicara karena sesak, ketukan itu bisa jadi cara lain untuk berkominikasi. Hal itu kini menjadi kebiasaan Shaka, setiap sakitnya kambuh, jari telunjuknya akan secara refleks mengetukkan sesuatu, membentuk pola ketukan yang jika diartikan menjadi ‘Tolong’.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...