Lazarus syndrome atau yang orang awam biasa menyebut dengan mati suri, yaitu kondisi di mana pasien yang telah dinyatakan meninggal dunia karena henti jantung mengalami kembalinya aktivitas jantung dan pernapasan—return of spontaneous circulation, setelah CPR dihentikan. Umumnya, terjadi pada rentang sepuluh hingga tiga puluh menit usai dinyatakan meninggal.
Dalam dunia medis, fenomena ini memiliki penjelasan panjang dari A, B, C, D, hingga Z. Namun bagi Ann, cukuplah ia mendefinisikan ini dengan satu kata, keajaiban.
Lenguhan napas panjang Shaka sukses menghadirkan kembali senyum di wajah gadis itu. Melihat itu, Andra langsung berlari masuk dan memasang kembali semua peralatan penunjang hidup Shaka—masker oksigen dan elektroda-elektroda yang tersambung pada kabel kecil bedside monitor—yang semula telah ditanggalkan.
Bunyi beep beep terdengar setelahnya, stabil dan beraturan.
Uap napas dengan cepat terlihat begitu masker oksigen tersebut dipasangkan pada hidung dan mulut Shaka.
"Detak jantungnya kembali," ucap Andra dalam tangis harunya. Ia mendongak sejenak pada Devan, Ann, dan Bram yang kini mengitari tempat tidur pasien, lantas mengangguk sekali. Terima kasih, Tuhan. Ini sungguh keajaiban, batinnya.
"Abang," lirih Devan. Ia berlutut di sana, mempererat genggaman tangan pada tangan kiri sang Kakak, lantas menempelkannya pada pipi.
Segera setelahnya, netra cokelat gelap Shaka perlahan terbuka. "Dek," ucapnya lemah.
Devan bangkit dengan cepat, berdiri dengan menundukkan badannya sedikit, menghadap Shaka. "Gue di sini, Bang." Ia memejamkan kedua mata, meloloskan setitik linang dari sana. Lengkung senyum terbit di wajah.
Shaka menggeleng pelan. "Jangan nangis," lirihnya pada Devan.
"Ini air mata kebahagiaan, Bang. Gue bahagia, karena lo bangun,"jawab sang adik. "Gue janji, setelah ini, hanya air mata itu yang akan keluar. Makasih, Bang. Makasih, udah berjuang untuk kembali."
Shaka tersenyum mendengar itu. Atensinya lantas tertuju pada pria paruh baya yang berdiri sisi kanan ranjang sambil menyentuhkan tangan pada kakinya.
Mengetahuk itu, Ann yang semula duduk di kursi samping kanan ranjang lantas berdiri dan menggeser tubuh selangkah ke belakang, memberi ruang agar Bram—Papa Shaka—bisa lebih dekat dengan anaknya.
Pria paruh baya itu berderap mendekat, mengusap lembut tetes air yang mengalir dari ujung mata Shaka. "Devan bilang, kamu nggak suka lihat orang nangis. Bakal langsung ngatain cengeng, katanya. Tapi, sekarang malah kamu yang cengeng gini." Satu embusan napas lepas dengan yang darinya, ketika melihat bekas memerah—dari alat kejut jantung—pada dada Shaka, juga beberapa memar di sana. "Pasti sakit sekali ya, Nak?"
Luka sebanyak ini, juga sakit yang selama bertahun-tahun ditelan seorang diri, juga semua perlakuan jahat darinya. Ya Tuhan, bahkan setelah semua rasa sakit itu, ia tetap berjuang untuk kembali, di saat kematian mungkin lebih melegakan baginya.
"Shinta pasti bangga sekali punya anak setangguh dirimu," tutur pria itu. "Terima kasih, sudah memberi Papa kesempatan kedua."
..-/...
"Pelan-pelan."
Devan menuntun sang Kakak perlahan menuruni anak tangga, sambil sesekali membetulkan kerah jas navy laki-laki itu. "Ada yang kurang. Bentar," katanya lentas mengambil beberapa langkah menjauh, mencabut setangkai mawar putih segar dari vas kaca di meja makan. Mawar pemberian salah satu rekan kerja papanya saat membesuk sebelum pulang dari rumah sakit pagi tadi.
Sementara menunggu Devan selesai dengan urusannya, Shaka mengambil tas selempang berisi tabung oksigen portabel dan mengaitkannya pada pundak kiri, lantas memasang nasal cannula di hidung. Karena kondisi paru-parunya, ia jadi terus bergantung pada alat bantu napas itu.
Laki-laki itu berderap menuju cermin besar di salah satu sudut ruangan. Satu helaan napas lepas dengan berat darinya, melihat pantulan diri sendiri di cermin.
Ia benar-benar terlihat seperti orang sekarat berkat wajah pucat, nasal cannula yang bertengger di hidung, bobot tubuh yang terus berkurang, juga rambut yang tidak setebal dulu karena rontok—efek radioterapi juga pengobatan lain untuk kanker paru-parunya satu setengah tahun ini.
Shaka sudah pulih. Tidak sembuh—belum, tapi sudah bisa melakukan aktivitas seperti sebelumnya, seperti sekolah, dan bepergian ke beberapa spot menarik untuk hunting foto. Meski, destinasi akhir tiap harinya adalah rumah sakit dan ke mana pun pergi harus mengenakan serta selang oksigen—berikut tas selempang berisi tabung oksigen—ini. Dan ya, jangan lupakan lusinan pil pahit yang harus ia minum tiap harinya.
Devan berderap mendekat, lantas menyematkan bunga mawar putih tersebut pada saku jas Shaka dan mengulum senyum padanya. "Ganteng banget nggak boong," katanya. "Gue yakin, pasti ayang bakal makin klepek-klepek sama lo."
Shaka terkekeh pelan mendengar itu. "Ada-ada aja."
"Udah siap?" tanya seorang pria baya yang tampak tengah melepas kancing pada lengan kemeja, sembari berderap masuk. "Ayo, keburu jalanan macet lagi. Tadi Papa sampe telat pulang saking nggak bisa lewatnya. Heran--"
"Ya, si bapak mulai ngedumel lagi perkara jalanan," ledek Devan. Lelah sendiri kalau Bram—papanya—sudah membahas perkara kemacetan di lalu lintas. "Tahun depan nyalon jadi pejabat aja ya, Pa. Udah pantes tuh."
Pria itu berdecak sekali, lantas geleng-geleng kepala. "Dasar kamu ini," katanya sambil meninju pelan bahu Devan.
Devan meringis, memamerkan deretan gigi putihnya, juga lesung pada kedua pipi. Tangan kanan laki-laki itu kemudian terulur, menengadah pada papanya. "Kunci mobilnya, Pa."
"Papa aja yang antar," balas pria itu.
"Lho, nggak bisa gitu dong, Pa." Devan memprotes. "Ini promnight, Pa. Promnight. Malamnya anak muda. Yang udah nggak muda lagi nggak usah ikutan, di rumah aja mengistirahatkan tulang dan persendian. Bang Shaka udah beliin tuh, koyo cabe sama balsem pesenan Papa."
"Ngomong apa sih lo, dek? Berlibet banget." Shaka menatap dengan kening tertaut.
"Adik kamu tuh, Ka," kompor pria itu.
Shaka tersenyum kecut mendengar itu. "Ya, si Papa juga ikutan," dengunya. "Anak Papa tuh."
"Hallo." Devan mengalihkan atensi kedua orang itu. "Acaranya jam delapan btw," katanya sambil sesekali melirik jam pada layar ponsel—dengan wallpaper fotonya dan Tata. "Dan, sekarang udah jam setengah delapan. Mana mana band-nya Devan nggak ada persiapan sama sekali. Bener-bener mendadak disuruh tampil."
"Pasti keren kok. Percaya sama Abang." Shaka tersenyum singkat, kemudian merangkul pundak sang adik. "Udah nggak diragukan lagi," ucapnya yang sukses menghadirkan bulan sabit di wajah Devan, juga semburat merah muda di sana.
"Thanks ya, Bang." Banyak pujian Devan terima mengenai suara merdu dan kemampuan bermusiknya. Namun, tak ada yang bisa menyamai perasaan senangnya kala sang Kakak sendiri yang mengatakan itu.
"Udah yuk, berangkat. Keburu mulai acaranya," ucap Shaka, lantas menoleh pada papanya dan mencium tangannya. "Berangkat dulu ya, Pa."
Pria itu menepuk pelan pundak Shaka. "Have fun, ya." Ia mencondongkan wajah, memangkas jaraknya pada telinga Shaka sembari memasukkan sesuatu ke dalam tas selempang laki-laki itu. "Good luck, untuk rencananya."
Kedua sudut bibir Shaka tertarik. "Siap, Pa."
"Ayo. Buruan, Bang." Devan langsung menyergap tubuh Shaka dan sedikit mendorongnya ke ambang pintu. "Pa, Devan berangkat! Kalo kepo, nanti pantengin aja di live streaming-nya YouTube sekolah. Jangan lupa like, komen, sama subscribe!" teriaknya sebelum kedua sosok itu menghilang dari balik pintu yang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...