[15] New Camera

1.8K 178 8
                                    

Cukup lama Shaka bertahan di sana, duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Satu jam? Entahlah, mungkin selama itu waktu yang ia perlukan hingga sakit dan sesaknya perlahan reda.

Laki-laki itu lantas meneruskan aktivitas yang semula hendak lakukan, membersihkan diri. Lumrahnya, ia lebih senang mandi dengan air dingin. Namun jika sedang sesak begini, uap air hangat dapat melegakan hidung dan tenggorokan, membuatnya lebih rileks.

.
.
.

Sekembalinya dari kamar mandi, Shaka dikejutkan oleh Ann dan Devan kalang kabut di dapur.

"Ya ampun kok jagi gini?!" pekik gadis itu.

Shaka tak perlu bertanya apa yang terjadi, karena dari aroma seperti terbakar yang menyentuh hidung, sudah cukup memberitahunya kalau bolu pisang yang tadi dipanggang gosong. Ia lantas berjalan mendekat.

Berbarengan dengan itu, tampak Andra dengan wajah panik dan sedikit kesal masuk dari pintu samping. "Astaga, Ann. Ini dapur orang lho. Masa iya mau kamu rusak juga?" katanya sambil geleng-geleng kepala. Sungguh, jika Ann dan dapur sudah dipertemukan, yang terjadi setelahnya adalah .... bencana.

"Ya, maaf, Bang. Tadi Ann tinggal main sama anjing di depan. Devan nih yang ngajak," balas gadis itu, masih menatap nanar hasil kerja kerasnya yang gagal total.

"Lho, kok malah nyalahin gue? Gue nggak maksa, ya. Lo aja yang mau," Tak terima namanya diseret-seret, Devan membela diri.

Shaka hanya bisa geleng-geleng kepala, menyaksikan Ann dan Devan yang kini malah bertengkar. Benar-benar seperti anak kecil. "Udah. Nggak usah berantem. Sakit kuping gue dengernya."

Ann mendengus sebal. "Ya, tapi--"

"Sshh." Shaka menempelkan jari telunjuk pada bibir, mengisyaratkan agar gadis itu diam. Ia lantas menoleh pada Andra. "Kasih paham tuh, Bang, adeknya. Kebanyakan dimanja sih," katanya sedikit meledek.

Salah satu sudut bibir Andra tertarik mendengar itu. "Kenapa? Cemburu? Pengen dimanja juga?" tanyanya sambil merangkul pundak Shaka. "Masih aja tengil, ya. Nggak pernah berubah." Ia mengacak puncak kepala laki-laki itu.

"Abang juga nggak pernah berubah. Masih suka ngacak rambut orang kalo gemes." Shaka tertawa ringan. Sungguh, momen-momen seperti inilah yang selalu membuatnya rindu pada kakaknya semasa si panti itu—Andra.

"Hallo." Devan menginterupsi. "Di sini bukannya para kakak, ya, yang harusnya ngelerai para adik yang lagi berantem? Kenapa kalian malah jadi manja-manjaan gini?" dengus Devan, yang masih tak terima kakaknya punya Kakak lain. Seperti anak kecil, ia bisa jadi sangat posesif pada Shaka.

"Sama ngurusi kue gosong, yang tadinya mau dikasih ke Papa," timpal Ann. "Mana sejam lagi pesawatnya berangkat."

"Gampang lah kalo urusan itu," balas Andra.

"Caranya?"

..-/...

"Beli aja di toko kue. Beres, kan?" ucap Andra, lantas mengarahkan pandangan pada petugas kasir di toko kue yang mereka kunjungi. "Pesan bolu pisang satu kotak, ya. Dibungkus."

Pegawai toko itu mengangguk, kemudian mengetikkan pesanan pada komputer di depannya. "Ada yang mau dipesan lagi?"

"Cinnamon roll-nya satu." Andra menoleh pada Ann, Shaka, dan Devan. "Kalian mau pesan apa?" tanyanya.

"Almond Croissant," ucap Devan, yang sejak masuk tadi sudah mengincar ingin makan itu.

"Samain aja kaya Devan," sahut Shaka.

"Oke. Kamu mau pesan apa, Ann?" tanya Andra.

"Bread croquette," jawab gadis itu.

"Oke, jadi pesanannya bolu pisang dibungkus. Cinnamon roll satu, Almond Croissant dua, sama Bread croquette satu dimakan sini," ucap pegawai toko itu. "Baik, pesanannya bisa ditunggu di meja ya, Kak."

UNTUKMU, SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang