Sepasang netra hazel Ann menyipit ketika menangkap keberadaan seseorang yang dikenalnya. Seorang gadis berambut panjang acak-acakan yang duduk seorang diri di ayunan taman dengan menyandarkan kepala bagian samping pada tali besi ayunan.
"Berhentiin mobilnya," ucap gadis itu, dengan pandangan yang masih belum beranjak.
Laki-laki yang duduk di kursi kemudi itu melirik sekilas kaca spionnya. "Lo mau ke taman? Larut malam--"
"Vin, berhentiin mobilnya! Cepetan!" jerit Ann, yang lantas membuat Arvin secara refleks menginjak rem.
Tubuh Ann sedikit tersentak ke depan karena mobil yang berhenti tiba-tiba. Beruntung, jalanan sedang kosong—wajar, karena siapa juga yang akan berkendara di jam selarut ini? Jadi, kejadian itu tak menimbulkan tabrakan.
"Ann, mau ke mana?" Arvin mengerutkan kening melihat Ann yang kini malah keluar dari mobil dan berlari memasuki area taman. Segera, laki-laki itu menyusulnya.
Ann masih terus berlari, sedikit tertatih karena sepatu hak tinggi—dari acara makan malam perusahaan milik mamanya yang tadi ia hadiri—juga off shoulder dress selutut berwarna pastel yang ia kenakan.
"Clara," gumam gadis itu. Langkahnya terhenti tepat di depan ayunan. Rupanya benar, yang Ann lihat tengah duduk seorang diri di sana adalah Clara.
Clara perlahan mendongak, menatap dengan mata memerah dan dipenuhi linang. Ia lantas terkekeh pelan. "Tuan putri udah datang rupanya," katanya yang lebih terdengar seperti igauan. "Dari pesta." Padanga gadis itu mengarah pada Arvin yang baru saja sampai. "Sama pangeran."
Segera setelah merampungkan kalimat, gadis itu mulai menangis sesenggukan.
"Ra," ucap Ann dengan suara lebih lembut. Ia melangkahkan kakinya, pelan tapi pasti, mendekat ke arah gadis itu. Tak hanya itu, ia juga melihat ada botol minuman beralkohol yang isinya sudah habis tak bersisa di dekat kaki Clara.
Tidak. Bukan sifat Clara seperti ini. Ann tahu persis, Clara paling anti dengan minuman beralkohol. Masalah apa yang gadis itu alami sampai-sampai membuatnya mabuk seperti ini?
Ann tahu, Clara sudah sangat kelewatan akhir-akhir ini, terlebih sejak gosip murahan pasal ciuman—napas buatan—nya dengan Shaka yang secara sengaja Clara sebar luaskan, juga ia yang harus terjebak masalah dengan laki-laki kurang ajar berotak mesum seperti Marko karena itu. Namun tetap saja, jauh di lubuk hati Ann, ia tetap menganggap Clara sebagai sahabatnya.
Dan, siapa juga yang akan tahan jika melihat sahabatnya menangis sampai seperti ini?
"Lo pasti ke sini mau ngetawain gue." Clara kembali menyandarkan kepalanya pada tali ayunan. Isakannya terdengar pilu. "Iya, kan?"
Ann menggeleng. "Nggak sama sekali." Ia mengusap ujung matanya yang berlinang. Ann tak perna sekali pun melihat Clara sampai sekacau ini. Clara hampir tak perna menunjukkan air matanya di depan orang lain, tidak juga ketika kedua orangtuanya bercerai dan sibuk dengan urusan masing-masing—tanpa pernah memedulikannya.
"Pergi."
Ann menyusut hidungnya yang berair. "Gue antar lo pulang, ya? Di sini dingin." Ia menangkupkan kedua tangannya pada bahu Clara, tapi dengan cepat gadis itu menghempasnya.
"Pergi!" Clara berteriak parau. "Urus sana kehidupan sempurna lo! Peduli apa lo sama gue?!" Ia terus mendorong tubuh Ann, memaksanya untuk pergi.
Tetapi, gadis itu maish saja keras kepala. Tak beranjak dari posisi sedikit pun, tak peduli meski Clara terus saja memukuli.
"Clara, stop! Udah gila ya, lo?!" bentak Arvin. Ia tak bisa lagi tinggal diam. Meraih tangan Ann, ia berniat mengajaknya pergi, tapi gadis itu malah menghempas tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...