[25] All These Truth

1.6K 177 9
                                    

Devan benci mencium aroma karbol dan obat-obatan rumah sakit. Ia benci harus kembali ke sana, apalagi saat ia hanya bisa duduk dan menunggu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara, kakaknya berjuang antara hidup dan mati di dalam.

Terhitung sejak pintu ruang operasi ditutup dan lampu neon dinyalakan, laki-laki itu tak bisa berhenti mondar-mandir sambil menggigit bibir bawahnya. "Semoga lo baik-baik aja, Bang," ucapnya lirih.

"Tangan kamu berdarah," ucap mamanya, yang segera membuat Devan menelisik lengan kanannya.

Ada luka gores memanjang di sana, yang tanpa darahnya menetes mengotori lantai. Pasti karena pecahan kaca mobil yang mengenainya saat berusaha mengeluarkan Shaka dari dalam kendaraan yang ringsek itu.

Devan sama sekali tak menyadari luka tersebut.

"Ini harus diobati." Wanita itu meraih tangan Devan, hendak membawanya menuju ruang perawatan.

"Nggak, Ma." Laki-laki itu dengan cepat mengukuhkan langkah. "Devan mau di sini, nungguin Bang Shaka. Lagian, ini cuma luka kecil."

Terdengar suara decakan pelan dari wanita itu. "Kamu ngapain sih masih ngurusi anak pembawa sial itu?"

"Anak pembawa sial Mama bilang?" tanya Devan dengan mengeratkan rahang. Matanya mendidih. "Mama jangan lupa, kalo anak pembawa sial itu, anak sejak nggak keitung seberapa banyak udah mama siksa, dia udah ngorbanin dirinya sendiri buat nyelametin kalian!" Cukup sudah. Devan muak sekali dengan semua ini. "Mama juga jangan lupa, kalo Devan nggak akan hidup sampe detik ini, kalo bukan karena ginjal Bang Shaka!"

Dan soal kecelakaan itu, Devan sudah puluhan atau bahkan ratusan kali menjelaskan kalau itu semua murni kesalahannya, karena ia terlalu asyik mengejar layangan—padahal sudah berulang kali diperingatkan sang Kakak—sampai tak melihat ada mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Namun tetap saja, tak ada yang mau dengar.

"Devan pikir, setelah semua ini, Mama akan sadar dan bisa sayang lagi sama Bang Shaka. Tapi, ternyata Devan salah." Laki-laki itu melanjutkan. Kekecewaan tampak jelas di wajahnya. "Sebenernya, Mama masih punya hati nggak sih?!" sentaknya.

"Jaga nada bicara kamu, Devan!" Kini, giliran Bram—papanya—yang membentak.

"Atau apa, Pa?! Papa mau pukul Devan? Silakan!" Devan meraih tangan papanya, lantas menamparkan tangan kokoh pria itu ke wajahnya sendiri sebanyak empat kali. Keras sekali. "Pukul aja sampe Papa puas!" Matanya yang dipenuhi linang menyorot tajam ke arah pria itu.

"Devan, cukup!" Bram menghempaskan kasar tangannya, agar tidak lagi mengenai pipi laki-laki itu.

"Kenapa berhenti?" tanya Devan diliputi amarah. "Selama ini, Papa selalu menikmati, kan, mukul dan nyiksa Bang Shaka?!"

Mamanya menggeram murka "Anak itu lagi--"

"Mama mau bilang apa? Mau bilang Bang Shaka anak pembawa sial? Bisanya cuma nyusahin, iya?" Devan merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil print komputer yang terlipat rapi, kemudian memberikan itu ke tangan papanya. "Ini yang kalian sebut anak pembawa sial itu lakuin."

Bram membuka lembaran kertas tersebut. Isinya beberapa bukti transaksi—hasil penjualan dan lelang foto—Shaka dengan nama samaran Jamie Scratch pada rekening perusahaan, dengan nilai uang yang tak main-main banyaknya.

"Jamie Scratch, investor misterius yang nanam saham di perusahaan Papa dan nyelametin bisnis Papa dari kebangkrutan. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Papa pasti tau dong. Papa sendiri yang cerita itu ke Devan. Tapi, Papa pernah nggak, sekali aja cari tau siapa? Papa tau nggak, kalo sebenernya Jamie Scratch itu nggak ada! Itu cuma nama samaran yang Bang Shaka buat supaya bisa nyelametin bisnis Papa! Pake uang hasil penjualan foto-foto jepretannya."

UNTUKMU, SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang