[29] End?

2.9K 171 68
                                    

Ann tersungkur untuk kesekian kali saat berlari menuju rumah sakit dengan berpuluh lembar foto di tangan. Dengan napas terengah, juga tangan berkeringat ynag terus menggenggam erat ponsel—agar tak tergelincir—juga tumpukan foto yang barusan ia cetak atas permintaan Shaka, gadis itu bangkit dan melanjutkan langkah.

Perih terasa ketika Ann memaksa tungkainya berlari. Lututnya terluka saat jatuh tadi, dan darah kini menetes mengotori bagian bawah rok putihnya. Langkah gadis itu kian terasa berat dan jantungnya seakan meronta.

Namun, ia tak memiliki banyak waktu lagi.

"Shaka, bertahan!" Ann menjerit sambil terus memaksa kakinya berlari. Ia mengarahkan pandangan pada seseorang yang ia hubungi melalui video call. "Bentar lagi gue sampe. Ini udah di perempatan dekat rumah sakit! Lo harus--" Gadis itu menghentikan tak kuasa meneruskan kalimat. Air matanya terus mengalir, meihat kondisi Shaka yang terus memburuk.

Meski sudah dengan bantuan masker oksigen, sama sekali tak membantu. Laki-laki itu terlihat begitu kesakitan, untuk setiap tarikan napas yang diambil. Dadanya naik-turun tak beraturan.

Dari layar ponsel, tampak Shaka menoleh padanya lantas menggeleng pelan. Entah apa arti gelengan itu, ia juga tak tahu. Perlahan, tangan gemetar laki-laki itu terulur pada ponsel miliknya—yang tadi Ann sandarkan pada gelas di atas nakas—dan menghempas benda tersebut hingga jatuh.

"Nggak!" Ann semakin berteriak parau mengetahui itu. Kalau begini, ia jadi tak bisa melihat kondisi Shaka. "Shaka, lo harus kuat! Bentar lagi gue sampe!" Langkahnya tertatih ketika melewati gerbang putih rumah sakit. Tangisnya semakin menjadi. "Lo kan, udah janji. Kita bakal pasang ini sama-sama. Lo harus bertahan!"

Tampilan di layar ponsel milik Ann berubah, tak lagi hitam seperti tadi. Ada yang memungut ponsel Shaka—yang terhubung video call dengannya.

"Devan," ucap gadis itu setengah berteriak, di sela napasnya yang terengah. Ia semakin dibuat panik melihat Devan yang sudah menangis parah.

"Ann, Bang Shaka--"

"Nggak!" potong gadis itu. "Nggak akan terjadi sesuatu sama Shaka! Dia pasti baik-baik aja." Ia menyandarkan salah satu sisi bahunya pada tembok, berhenti beberapa detik sambil mengatur kembali pola napas sebelum kembai berlari. "Gue udah di rumah sakit. Bentar lagi gue sampe."

Satu decak pelan terdengar begitu Ann sampai di depan lift. Lift sudah penuh, dua-duanya. Akan makan waktu lama menunggu lift terbuka lagi. Sementara, ia tak punya banyak waktu.

Mau tak mau, Ann harus berlari menaiki tangga menuju ruang rawat Shaka di lantai empat.

"Arahin hapenya ke Shaka, Van! Tolong! Gue pengen ngomong sama dia." Derap sepatu Ann meggema ketika ia menapaki anak tangga.

Devan mengangguk, lantas mengarahkan ponsel pada Shaka.

Shaka mengarahkan pandangan pada layar ponsel dengan mata yang terus mengerjap. Kentara sekali ia tengah menahan sakit yang teramat pada dada. Semakin kesulitan bernapas. Pias di wajah makin tak terelakkan.

"Ka, lo kuat. Lo harus bertahan." Suara Ann terdengar bergetar karena tangis. Ia sudah di tangga lantai dua sekarang, kurang dua latai lagi dan gadis itu akan sampai. "Foto-fotonya udah gue cetak. Gila banget ada tujuh puluh foto! Pasti nanti lo bingung milih mana aja yang mau ditempel di buku." Ia terkekeh pelan, berusaha menyamarkan suaranya yang bergetar. "Lo ngambil foto semua orang, tapi foto lo--"

"Ann," ucap Shaka lemah.

Gadis itu spontan menghentikan langkah. "Iya?"

"S-sen-yum, Ann," lirih laki-laki itu. "G-gue mau lihat lo senyum."

UNTUKMU, SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang