Ann mengernyit menahan pening di kepala. Mata cewek itu mengerjap, mengamati sekitar, sebuah ruangan dinding-dindingnya setengah dibangun—masih berupa tumpukan bata yang direkatkan dengan semen.
Gadis itu ingin bergerak, tapi tubuhnya terkunci oleh sebuah tali yang melilit tangan—yang diarahkan ke belakang—dan kakinya pada sebuah kursi tua. Atau jangankan untuk itu, sekedar berteriak meminta tolong pun ia tak bisa. Ada kain yang penuh menyumpal mulut. Membuat mulutnya kini kaku dan mati rasa.
Di saat seperti ini, normalnya orang pasti akan panik, memberontak dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun, Ann tidak akan melakukan itu. Benar, ia panik sekarang—mana ada orang yang tidak panik saat berada dalam posisi seperti itu? Hanya saja, ia memilih untuk tetap tenang dan tidak membuat gerakan berlebih—mengingat tekstur kasar tali yang akan melukai kulit, sembari menganalisa situasi.
Ruangan ini sepi, setidaknya menurut penglihatannya. Ann lantas mengarahkan pandangan ke bawah. Masing-masing kakinya diikat pada kaki kiri-kanan kursi.
Oke, Ann punya rencana untuk meloloskan diri dari ini. Mulanya, ia mendorong tubuh ke belakang, mengangkat kaki depan kursi—sambil berusaha menjaga keseimbangan agar dirinya tidak terjengkang. Pelan tapi pasti, ia turunkan satu per satu kakinya, meloloskan dari tali.
Berhasil.
Gadis itu lantas bangkit dari kursi dan tubuh ke lantai, duduk berlunjur di sana. Ia baru hendak mengambil pisau lipat kecil dari dalam saku untuk memotong tali yang mengikat tangan, ketika tampak bayangan seseorang mendekat.
Marko, ujarnya dalam hati. Ann semakin panik, mencoba berteriak tapi tak bisa—karena mulutnya masih tersumpal kain.
Marko berderap mendekat dan menduduki paha gadis itu. "Kenapa sih, cantik?" Ia menyibak rambut panjang Ann, lalu melintaskan ujung jemari tangan pada leher. Tatapannya penuh nafsu. Mengerikan.
Ann semakin panik dibuatnya. Namun semakin ia memberontak, laki-laki itu malah semakin berbuat kurang ajar padanya.
"Gue cuma mau ajak lo seneng-seneng." Marko menaikkan kasar dagu Ann. Wajahnya bergerak maju, hendak mencium pipi mulus gadis itu.
"Brengsek!" teriak seorang laki-laki—yang entah darimana datangnya atau bagaimana ia bisa sampai ke sini. Ia langsung melayangkan pukulan ke wajah Marko hingga membuatnya tersungkur di tanah.
Ann tidak bisa melihat wajah laki-laki yang menyelamatkannya itu dengan jelas, karena penerangan yang minim. Namun dari suaranya, ia cukup yakin kalau orang itu adalah—
Shaka, batinnya.
"Bajingan!" Emosi Shaka meluap-luap. Ia dengan kalapnya memukul laki-laki itu , membuatnya sampai tak berdaya. "Camkan kata-kata gue!" berangnya sambil menarik kasar kerah baju Marko. "Sampe lo berani sentuh dia, lo mati!" Ia dengan kasar menghempas laki-laki itu dan berbalik menghampiri Ann, melepaskan ikatannya.
"Lo baik-baik aja?" tanya Shaka yang dibalas dengan satu anggukan oleh gadis itu. Ia melepas jaket yang dikenakan lantas melingkupkannya ke pundak Ann.
"Gimana lo bisa ke sini?"
"Gue lihat lo keluar sendirian malam-malam, makanya gue ikuti." Satu helaan napas lepas dengan berat dari Shaka. "Bego. Nekad banget jadi orang. Mau cari mati apa gimana hm?"
Ann menundukkan pandangan. "Maaf," ucapnya penuh sesal. "Gue jadi nyusahin lo."
"Yang penting, sekarang lo baik-baik aja." Kedua lengan Shaka lembut menggenggam bahu gadis itu, membantunya berdiri. "Kita pergi dari sini sekarang. Tempat ini nggak aman buat lo," ucapnya lalu mengajak Ann keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...