[12] Janji Masa Lalu

1.4K 191 22
                                    

Ann memejamkan matanya kuat, menenggelamkan wajah dalam dada bidang Shaka, ketika mereka terperosok ke jurang. Saat jatuh tadi, laki-laki itu dengan sigap menariknya dalam pelukan. Lengan kokoh Shaka kuat mendekap tubuh dan kepala gadis itu, melindungi dari batu atau ranting pohon yang kemungkinan bisa melukai.

Lima meter. Ah, tidak. Rasanya hampir tujuh meter mereka terperosok. Benar-benar menegangkan. Ann sungguh bersyukur, jurang ini lebih terlihat seperti perosotan, karena hanya berupa lahan miring tertutup tumbuhan herba dan beberapa tanaman berkayu—yang rantingnya beberapa kali menempeleng mereka—tanpa ada batu-batu besar bersudut tajam.

Kedua orang itu terguling dua kali, sebelum akhirnya berhenti di atas rerumputan. Ann dengan cepat—memaksa tubuh yang jujur, rasanya seperti remuk—berdiri, begitu menyadari kepalanya menindih lengan Shaka.

Shaka menumpukan tangan pada
permukaan tanah di sisi kanan-kirinya, lalu mengubah posisi menjadi duduk. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya sambil memegangi bahu kanannya yang kini terasa perih.

Gadis itu menggeleng. "Makasih, ya." Entah diterima atau tidak ucapan terima kasihnya, tetap saja An merasa berutang budi pada Shaka, karena sudah memasang badan—mendekap—untuk melindunginya saat terperosok tadi.

Seberkas senyum terbit di wajah laki-laki itu, senyum pertama yang secara sadar ia tujukan pada Ann. "Sama-sama." Ia melepaskan tangan yang semula memegang bahu kanannya. "Darah," gumamnya. Telapak tangan itu kini berubah warna, berkat cairan merah berbau anyir dari sana. Pantas saja bahunya terasa nyeri, rupanya bagian itu berdarah. Pasti karena tergores ranting pohon saat terperosok tadi.

Shaka juga baru menyadari lengan baju bagian kananya terkoyak.

"Bahu lo berdarah." Ann menyambar bagian bawah kaus putihnya, berniat merobek dan menggunakannya untuk membebat luka di bahu Shaka. Namun sialnya, ia tak bisa. Entah karena karena kain itu terlalu tebal atau tangannya yang tak cukup kuat, Ann tak tahu.

Gadis itu kelimpungan merogoh saki celana, mencari sesuatu yang mungkin bisa berguna—tissue atau sapu tangan mungkin.  Gerakan tangannya terhenti ketika Ann merasakan sebuah benda berbentuk kotak pipih, di saku belakang celananya. Ia lantas mengeluarkan benda itu dan hendak memasangkannya pada bahu Shaka.

"Lo mau nutup luka gue pake pembalut?" Shaka yang merasa sisi maskulinnya diinjak-injak, langsung menjauhkan bahu dari tangan gadis itu. Lapisan kertas di bagian belakang pembalut itu bahkan bergambar Hello Kitty. Girly sekali!

Oke lah, bahu Shaka terasa agak sakit sekarang, tapi tetap saja, gengsi yang paling utama.

"Udah deh. Nggak usah bawel. Nurut aja!" semprot Ann. Ia menarik kasar tangan kanan Shaka lalu membebat luka di bahu laki-laki itu dengan pembalut miliknya. Dan agar pembalutnya tidak jatuh, ia mengambil peniti—sisa membetulkan robekan di pintu tenda yang terbawa olehnya di saku celana—dan mengaitkannya pada dua ujung pembalut itu.

"Nah. Udah beres, kan?" Ann menggoyang-goyang sedikit pembalut di bahu Shaka, sekedar memastikannya tidak mudah lepas. "Kalo dilihat-lihat, lucu juga." Ia tertawa pelan. "Tampangnya kaya security, tapi pake pembalut Hello Kitty," ledeknya.

"Ini kalo bukan gara-gara nggak ada kain lain, ogah gue dipakein ginian," dengus Shaka. Wajahnya tampak kesal. Menggemaskan sekali!

"Udah, terima nasib aja," balas Ann, masih berusaha menahan tawa. "Lagian ya, justru bagus kalo nutup luka pake pembalut sekali pakai. Lebih steril."

"Suka-suka lo aja," serah laki-laki itu.

"Makasih atas kerjasamanya, freezer es krim." Gadis itu beranjak berdiri, memindai pepohonan di sekitarnya. Ia sama sekali tak menemukan petunjuk arah rute jelajah alam tadi. Lupakan soal itu, terperosok di sisi hutan sebelah mana saja, ia tak tau. "Petunjuk jalannya tadi sebelah mana? Kok, nggak keliatan."

UNTUKMU, SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang