Ann panik bukan main melihat Shaka yang sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan wajah penuh lebam dan kening berdarah. Gadis itu langsung berlari menghampiri dan berlutut di samping kanannya. "Shaka, bangun!" Air matanya menetes membasahi pipi.
Sebelah tangan gadis itu terulur ke leher Shaka guna mengecek. Syukurlah, denyut nadi lelaki itu masih ada, hanya saja lemah sekali. Laju napasnya melemah.
Kepala Ann kontan terdongak, begitu mendengar langkah kaki laki-laki yang tadi membukakannya pintu berderap mendekat. Netra hazelnya membidik mata lelaki berkaus hitam itu. "Berhenti di sana!" pekiknya. "Sebenarnya, lo itu siapa? Apa yang udah lo lakuin ke Shaka? Kenapa dia bisa kaya gini?"
"Gue mohon, percaya sama gue. Ini nggak seperti yang lo pikirin." Laki-laki itu berusaha tetap tenang dan tidak terbawa emosi.
"Trus, lo pikir gue bakal percaya gitu aja? Bisa aja, kan, lo sengaja nyelakain--"
"Gue ini adiknya!" Laki-laki itu berteriak parau. "Mana mungkin gue mau nyelakai Abang gue sendiri!" Ia kini berlutut di samping kiri tubuh Shaka, lantas melintaskan tangan kanannya ke belakang leher laki-laki itu dan menegakkan punggungnya pelan.
"Terserah lo mau percaya apa engga. Tapi bisa nggak, kita ributin itu nanti? Bang Shaka harus dibawa ke rumah sakit sekarang." Laki-laki itu bergegas menyangga lengan kanan si Abang di pundaknya, lalu memapahnya keluar.
.
.
.Ann masih tak bisa berhenti mengarahkan pandang pada laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Devan—adik Shaka—itu.
Devan masih tak beranjak dari posisi, berdiri tepat di depan pintu ruang kaca ICU sambil terus memperhatikan Shaka ditangani di dalam. "Lo harus bertahan, Bang," gumam laki-laki itu.
Tak lama, pintu ruang ICU dibuka. Tampak seorang dokter laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan, Dokter Chandra, keluar dari baliknya. Segera, Devan menghampiri pria itu.
"Gimana Kakak saya, dok?"
"Kondisinya sudah mulai stabil," jelas Dokter Chandra. "Kamu sudah bisa jenguk dia sekarang." Pria itu mengusap pelan bahu Devan seraya mengulum senyum. "Om tinggal dulu, ya."
"Om, tunggu," ucap Devan ketika dokter itu hendak berderap menjauh. Devan mengenal Dokter Chandra, karena memang dokter spesialis paru itulah yang menangani penyakit asma akut kakaknya sejak kecil, sebelum akhirnya pengobatan itu dihentikan karena Papanya tak mau lagi membayar. "Soal, asthma-nya ... gimana?" tanyanya dengan suara pelan.
Dokter Chandra menghela napas berat. "Soal itu, saya masih belum bisa memastikan. Mengingat, sudah tiga tahun lebih Shaka menghentikan pengobatannya. I'm afraid, he's getting worse," ucapnya. "Namun untuk lebih jelasnya, kami perlu melakukan beberapa pemeriksaan."
"Tolong urus apa saja yang diperlukan, dok." Devan mengarahkan pandangan pada wajah Shaka yang tampak damai dalam pejamnya di dalam ruangan, dengan perban di kepala dan nasal cannula yang bertengger manis di hidung laki-laki itu. "Saya siap tanggung berapa pun biayanya, asal Bang Shaka bisa sembuh."
Pria itu mengangguk-angguk sambil mengulum senyum. "Baik, kalau begitu, saya tinggal dulu," katanya lalu undur diri.
Laki-laki itu bergegas memasuki ruangan, menemui Shaka yang masih belum sadarkan diri di dalam. Ia menarik kursi dari samping ranjang dan mendudukinya, menatap lamat wajah pucat penuh lebam sang Kakak.
Devan tak kuasa menahan air matanya. "Maafin gue, Bang. Harusnya gue selalu ada di samping lo. Nggak ninggalin lo. Lo jadi harus ngerasain sakit sendirian."
Tangan kanannya terulur, menggamit tangan Shaka yang terbebas dari selang infus. "Tapi sekarang, gue di sini sekarang. Devan, adik yang lo bilang paling nggak bisa diem, ada di sini sekarang. Bangun ya, Bang. Masa gue pulang, malah lo tinggal tidur." Ia menyusut hidungnya yang berair. "Gue pengen bisa peluk lo lagi, Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU, SHAKA
Teen FictionAnn tak pernah menduga aksi pemberian napas buatannya pada Shaka akan menjadi viral di mana-mana, apalagi sejak tagar #ciumanpertamapenyelamat menjadi trending topic di jagat maya. Kini, mau tak mau, Ann harus berurusan-bahkan terus dipasangkan-deng...